No. 1386 Mengutamakan Pendidikan Adab

 

“ Allah telah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya “ ( QS. Alaq : 5 )

Az-Zarnuji dalam kitab “Ta’lim Al-Mut’allim” menceritakan bahwa pada suatu saat Khalifah Harun Ar-Rasyid mengirimkan putranya kepada Imam Al-Ashma’i, salah satu ulama besar  untuk belajar ilmu dan adab. Pada suatu hari, Khalifah Harun Ar-Rasyid menyaksikan Al-Ashma’i sedang berwudhu dan membasuh kakinya, sedangkan putra Harun Ar-Rasyid menuangkan air untuk sang guru. Setelah menyaksikan peristiwa tersebut, Harun Ar-Rasyid pun berkata kepada Al Ashma’I, guru anaknya tersebut : “Sesungguhnya aku mengirimkan anakku kepadamu agar engkau mengajarinya ilmu dan adab. Mengapa engkau tidak memerintahkannya untuk  menuangkan air dengan salah satu tangannya lalu membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?” Dari kisah ini terlihat bahwa Khalifah Harun Rasyid ingin agar anaknya dilatih sikap merendahkan diri di depan gurunya dengan membasuhkan kedua kaki gurunya tersebut. Sebab dengan cara demikian, maka anak khalifah akan tertanam sikap rendah hati dan terlepas dari sikap sombong.

Demikian juga dengan Khalifah Al-Makmun, yang berusaha untuk menumbuhkan sifat tawadhu kepada para putranya. Ibnu Khalikan dalam kitab “Wafayat Al-A’yan” telah mencatat peristiwa yang menunjukkan betapa Khalifah Al-Makmun berusaha untuk mendidik putra dan putrinya mempunyai adab dan akhlak yang mulia. Pada suatu ketika itu, Khalifah Al-Makmun menunjuk Al-Farra’, seorang ulama untuk mendidik anaknya. Suatu saat setelah selesai  menyampaikan ilmunya, Al-Farra’ pun bangkit dari tempatnya untuk meninggalkan istana. Kemudian kedua putra Al-Makmun berebut untuk menyiapkan sandal yang akan dipakai oleh gurunya  Al-Farra’. Perebutan untuk menyediakan sandal gurunya itu menyebabkan keduanya bertengkar dan   akhirnya  berdamai dan bersepakat bahwa masing-masing membawa satu sandal untuk diserahkan kepada Al-Farra’. Berita mengenai pertengkaran itu akhirnya sampai ke telinga Khalifah Al-Makmun. Dengan segera Khalifah  memanggil Al-Farra’.

Setelah Al-Farra’ menghadap, Al-Makmun bertanya, ”Siapa orang di Baghdad ini yang paling terhormat?” Al-Farra’ menjawab, ”Paduka orang yang paling dihormati di negeri ini.” Al-Makmun bertanya lagi, ”Lantas siapa orang yang menyebabkan perkelahian karena berebut untuk membawa sandalnya?” Al-Farra’ menjawab, ”Hamba sebenarnya hendak melarangnya, namun hamba khawatir merusak karakter baik kedua putra paduka yang telah tertanam sebelumnya.” Menyimak alasan Al-Farra’, Al-Makmun menyampaikan, ”Aku telah mengajari anakku meskipun mereka dihormati, untuk bersikap tawadhu kepada tiga orang, yaitu kepada orangtuanya, kepada gurunya, dan kepada pemimpinnya. Bahkan aku melatih mereka dalam hal ini sampai menghabiskan uang 20 ribu dinar. Sebab itu, aku memberimu uang 10 ribu dirham sebagai balasan atas pendidikanmu yang baik kepada anak-anakku.”

Pendidkan adab dan  sikap tawadhu Harun Ar-Rasyid kepada putra-putranya tidak hanya menyerahkan pendidikan tersebut pada ulama, namun beliau sendiri memberikankan  tauladan kepada putra-putra beliau. Sebagaimana tercatat dalam kitab “Al-Adab As Syari’iyah” oleh As-Safarini bahwa suatu saat Imam Malik diminta oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk berkunjung ke istana dan mengajar Hadits kepadanya. Namun Imam Malik tidak hanya menolak datang, Imam Malik  malah meminta agar khalifah yang datang sendiri ke rumah beliau untuk belajar. Imam Malik berkata “Wahai Amirul Mukminin, ilmu itu didatangi, tidak mendatangi,”

Mendengar itu akhirnya kalifah Harun Ar-Rasyid  datang untuk belajar kepada Imam Malik. Pada saat itu saat Imam Malik sedang mengajar, maka datanglah Khalifah Harun al Rasyid duduk di atas kursi, maka Imam Malik berkata  :  Para pencinta ilmu sangat menghargai ilmu, maka tak seorangpun dapat duduk lebih tinggi dari ilmu “. Mendengar sindiran itu, Khalifah turun dari kursi dan duduk bersama-sama dengan jamaah pengajian lainnya. Tetapi setelah selesai mengajar, Imam Malik mempersilakan khalifah duduk di atas kursi, dan beliau duduk dibawah. Khalifah bertanya mengapa demikian ? Imam Malik bekata tadi saya sedang mengajar dan khalifah sebagai sedang belajar, maka saya duduk di kursi sebagai kemuliaan ilmu, dan sekarang saya minta khalifah duduk di kursi, sebab sekarang khalifah adalah seorang pemimpin dan saya sekarang adalah seorang rakyat. Demikian adab seorang murid kepada guru dan adab seorang rakyat kepada pemimpin.

Pada suatu hari Sahabat nabi Zaid bin Tsabit melakukan shalat jenazah. Setelah selesai dia akan pulang. Tiba-tiba datang Ibnu Abbas membawa kenderaannya untuk ditunggangi oleh Zaid bin Tsabit. Melihat hal demikian berkatalah Zaid : “ Tidak usah engkau susah payah untuk menawarkan kenderaanmu kepadaku wahai anak paman Rasulullah “. Ibnu Abbas menjawab : “ Beginilah kami disuruh oleh Rasululah beradab dengan para ulama dan orang yang besar “. Inilah adab yang merupakan inti dari suatu pendidikan.

Adab kepada guru tak dapat dipisahkan daripada menuntut ilmu, sehingga Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata pernah berkata :” Aku adalah budak (hamba sahaya) bagi orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan walaupun hanya satu huruf saja. Kalau ia hendak menjualku, itu terserah dia. Kalau ia hendak membebaskan diriku, itupun terserah dia dan jika ia mau dia dapat menjadikanku budak kepadanya “.

Imam Syafi’I pernah sewaktu sedang mengajar,  tiba-tiba datanglah seorang arab Baduwi dengan pakaian yang lusuh.  Imam Syafii segera menjumpainya dan mencium tangan serta memeluk seorang tua yang dijumpainya. Setelah selesai mengajar, murid Imam Syafii bertanya kepada gurunya: “ Mengapa engkau mencium tangan dan memeluk orang tua itu sedangkan engkau seorang ulama terkenal ? “ Imam Syafii menjawab : “ Pada suatu hari saya sedang menulis kitab fiqih, dan saya mempunyai satu masalah yaitu bagaimana membedakan antara anjing yang sudah baligh dan anjing yang belum baligh. Saya berfikir bahwa orang yang paling mengetahui hal ini adalah orang baduwi sebab mereka biasanya memelihara anjing untuk mengawal kambing-kambing mereka. Saya bertanya kepada orang tua yang datang tadi. Orangtua tadi menjelaskan kepadaku bahwa anjing yang baligh akan mengangkat sebelah kakinya jika dia sedang buang air. Dengan informasi dari orangtua itu tadilah saya dapat menyelesaikan penuisan kitab fiqih tersebut“. Berarti Imam Syafii tetap menghormati dan menghargai ilmu dari orang tua tadi walaupun hanya menyampaikan sebuah informasi, dan ilmu yang sedikit.

Demikianlah adab murid kepada guru, sebab seorang murid belajar kepada guru bukan hanya untuk mencari ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih utama adalah terdidiknya murid dengan adab dan akhlak mulia. Ilmu harus dilengkapi dengan akhlak sehingga ilmu itu bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Hasan al Bashri berkata : “ Janganlah engkau menjadi sebagian dari orang yang sibuk mengumpulkan ilmu dari ulama, kata-kata hikmah dari para hukama, sedangkan perbuatan engkau seperti perbuatan orang yang bodoh ”. Menghormati guru adalah merupakan kewajiban bagi seorang murid sehingga Rasulullah bersabda dalam hadis : “ Tidaklah termasuk umatku orang yang tidak hormat kepada orangtua, tidak mengasihi orang muda dan tidak mengakui orang yang alim diantara kami “ ( riwayat Ahmad ).

Pada saat ini sikap menghormati guru sudah sangat jarang kita dapatkan dalam masyarakat. Pada saat yang sama kita melihat ada sebagian masyarakat sudah tidak acuh tak acuh dengan gurunya, bahkan kadang-kadang berbuat tindakan yang tidak baik pada gurunya, seakan-akan dia lupa bahwa segela keberhasilan yang dicapainya dalam masyarakat itu semua berproses dari ilmu yang diperolehnya daripada guru-guru yang mendidiknya dari kecil sehingga dewasa. Ada lagi kelompok lan yang terlalu memuja gurunya, sehingga apa saja yang dikatakan gurunya dan apa yang disuruh gurunya dilakukannya walaupun itu bertentangan dengan hukum-hukum agama, sehingga terkadang mengkultuskan guru dan kuburan gurunya. Kedua sikap tersebut adalah salah, sebab penghormatan kepada guru bukan berarti pemujaan kepada guru.

Sudah saatnya masyarakat kembali untuk mengutamakan pendidikan adab, akhlak yang mulia disamping ilmu pengetahuan. Mari kembali kita didik anak-anak kita dengan adab-adab yang dilatih di lingkungan rumah, di lingkungan sekolah dan di tengah masyarakat. Orangtua di rumah mendidik anak-anaknya, guru di sekolah mendidik murid-murudnya, media tivi mendidik pemirsanya, tokoh masyarakat mendidik warganya dengan memberikan teladan yang baik, sehingga anak-anak kita dan masyarakat terbiasa dengan adab dan akhlak yang mulia, sebagaimana warga jepang yang selalu menanamkan akhlak mulia kepada anak didiknya sehingga memasukkan akhlak seperti mencuci kamar mandi, membersihkan pekarangan, mencuci piring, merupakan kurikulum sekolah, bukan sebagai hukuman atas suatu kesalahan. Ulama salaf Ibu Mubarak berkata  : “ Kami berhajat kepada adab yang sedikit itu lebih daripada ilmu yang banyak “. Oleh sebab itu Imam Malik menasehati seseorang “ Wahai saudaraku, belajarlah adab sebelum kamu belajar ilmu “. Adab ini harus dilatih dengan teladan yang baik, baik di dalam rumah, di lingkungan sekolah dan di masyarakat, Orangtua menjadi teladan bagi anak-anaknya, Guru teladan bagi muridnya, Pemimpin teladan bagi rakyatna, sehingga masyarakat akan menjadi masyarakat yang memiliki adab dan peradaban. Semoga orangtua, guru, pemerintah dan masyarakat, khususnya media informasi  memberikan perhatian kepada acara dan program yang dapat mendidik adab lebih besar daripada menyebarkan berita dan  peristiwa. Fa’tabiru Ya ulil albab.

 

 

Share This Post

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

More To Explore

Do You Want To Boost Your Business?

drop us a line and keep in touch

Discover more from ISTAID Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading