No. 1338 Nikmat Waktu

NIKMAT WAKTU

“Dewi waktu, sesungguhnya manusia itu dalam  kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh ( QS. Al Ashr : 1-2 )

Waktu adalah nikmat terbesar yang Allah berikan kepada umat manusia, sebab hanya manusia yang dapat menghitung waktu, dari jam ke jam, hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun. Waktu itu dibagi dengan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun adalah dimaksudkan agar manusia dapat melihat bagaimana dia mempergunakan  waktu yang lalu dan apa yang dilakukan dengan waktu yang akan datang, sehinga setiap menit, setiap jam, bulan dan tahun hidup manusia akan lebih baik daripada waktu sebelumnya. Itulah sebabnya Rasulullah bersabda :“Dua hal yang banyak orang tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (Hadis sahih riwayat  Bukhari, Tirmidzi, dan Ibnu Majah )

Rasulullah juga telah memberi peringatan bahwa setiap pemakaian waktu itu akan dipertanggungjawabkan di depan Allah Taala, dimana beliau bersabda :  “Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi Rabb-nya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan, serta apa saja yang telah ia perbuat dari ilmu yang dimilikinya.” (Hadis sahih riwayat Tirmidzi dan Thabrani)

Rasul menasehati umatnya agar dapat menjaga waktunya dengan baik “ Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara yaitu hidup sebelum mati, waktu sehat sebelum sakit, waktu luang sebelum waktu sibuk, waktu muda sebelum tua, dan waktu kaya sebelum miskin.” ( Hadis sahih riwayat Hakim dan Baihaqi ). Rasulullah juga mendorong kumatnya untuk bersegera dalam ketaatan sebagaimana sabda beliau, “Berlombalah dalam amal kebajikan dengan tujuh perkara (yakni bersegeralah kepada amal shalih sebelum terjadinya salah satu dari tujuh penghalang ini), apakah kalian menunggu kecuali kemiskinan yang melupakan (yakni seseorang yang sibuk mencari sesuap nasi, sehingga dia meninggalkan dan melupakan ketaatan dan amal shalih), atau kekayaan yang melampaui batas (yakni harta dan uang berlebih biasanya menyebabkan seorang hamba bersikap melampaui batas dan tenggelam dalam syahwat-syahwat yang diharamkan), atau sakit yang merusak atau renta yang menyebabkan penyesalan (ketuaan dan lanjut usia), atau kematian yang menunggu, atau dajjal yang ia adalah seburuk-buruk yang ditunggu, ataukah kiamat, yang kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” ( Hadis riwayat Hakim dan Tirmidzi).

Ulama Salaf,Hasan Al Bashri mengatakan“Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang, maka akan hilang pula sebagian dirimu.” Selanjutnya Hasan al-Bashri berkata, “Sungguh saya telah berjumpa dengan beberapa orang, mereka lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga waktu daripada kesungguhan kalian untuk mendapatkan dinar dan dirham.”

Rabi’ahal Adawiyah  berkata kepada Sufyan Ats Tsauri“Sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari. Jika satu hari berlalu, maka sebagian dirimu juga akan hilang. Bahkan hampir-hampir sebagian harimu berlalu, lalu hilanglah seluruh dirimu (baca: mati) sedangkan engkau mengetahuinya. Oleh karena itu, beramallah.”

 

Begitu pentingnya waktu, sehingga Imam Asy Syafi’i  berkata“Aku pernah bersama dengan orang-orang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. Pertama, dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”

Ibnul Qoyyim juga mengatakan, “Waktu manusia adalah umurnya yang sebenarnya. Waktu tersebut adalah waktu yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yang abadi, penuh kenikmatan dan terbebas dari kesempitan dan adzab yang pedih. Ketahuilah bahwa berlalunya waktu lebih cepat dari berjalannya awan (mendung). Barangsiapa yang waktunya hanya untuk ketaatan dan beribadah pada Allah, maka itulah waktu dan umurnya yang sebenarnya. Selain itu tidak dinilai sebagai kehidupannya, namun hanya teranggap seperti kehidupan binatang ternak.” Lalu Ibnul Qoyyim melanjutkan  “Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal yang membuat lalai, untuk sekedar menghamburkan syahwat (hawa nafsu), berangan-angan yang batil, hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan digunakan dalam kebatilan (baca: kesia-siaan), maka sungguh kematian lebih layak bagi dirinya.”

Ibnu Aqil al-Hanbali mengisahkan perjalanannya menuntut ilmu dan fokus terhadap apa yang ia cita-citakan sehingga ia menjadi seorang ulama yang terpandang. Beliau mengatakan, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan sesaat saja dari umurku, tatkala lisanku telah membaca dan berdiskusi, mataku lelah membaca, maka aku menggunakan pikiranku dalam keadaan beristirahat dan berbaring. Sehingga aku berdiri dalam keadaan ide-ide yang banyak dalam benakku lalu, aku tuangkan ide tersebut dalam tulisan. Aku dapati kesungguhanku dalam belajar lebih kuat saat aku berusia 80 tahun dibanding waktu aku berumur 20 tahun.”

Lihatlah bagaimana umat Islam terdahulu memanfaatkan waktu mereka. Sebagai contoh, Zaid bin Tsabit  sanggup menguasai bahasa Parsi hanya dalam tempo waktu 2 bulan! Beliau dipercaya sebagai sekretaris Rasul dan penghimpun ayat Quran dalam sebuah mush’af. Abu Hurairah masuk Islam usia 60 tahun. Namun ketika meninggal di tahun 57 H, beliau meriwayatkan 5374 hadits. Anas bin Malik  pelayan Rasulullah SAW sejak usia 10 tahun, dan bersama rasul selama 20 tahun. Dan telah meriwayatkan 2286 Hadits.

Abul Hasan bin Abi Jaradah (548 H) sepanjang hidupnya menulis kitab-kitab penting sebanyak tiga lemari.Abu Bakar Al-Anbari setiap minggu membaca sebanyak sepuluh ribu lembar. Syekh Ali At-Thantawi  membaca 100-200 halaman setiap hari. Ibnu Jarir Ath-Thabari menulis tafsir Al-Qur’an sebanyak 3.000 lembar, menulis kitab sejarah 3.000 lembar dan setiap harinya beliau menulis sebanyak 40 lembar selama 40 tahun sehingga total karya Ibnu Jarir sebanyak 358.000 lembar.

Ibnu Aqil menulis kitab yang paling spektakuler yaitu Kitab Al-Funun, kitab yang memuat beragam ilmu, adz-Dzahabi mengomentari tentang kitab ini, bahwa di dunia ini tidak ada karya tulis yang diciptakan setara dengannya. Menurut Ibnu Rajab, sebagian orang mengatakan bahwa jilidnya mencapai 800 jilid. Al-Baqilini tidak tidur hingga beliau menulis 35 lembar tulisan. Ibnu Al Jauzi senantiasa menulis dalam seharinya setara 4 buah buku tulis. Dengan waktu yang dimilikinya, beliau mampu menghasilkan 2.000 jilid buku. Bekas rautan penanya Ibnul Jauzi dapat digunakan untuk memanasi air yang dipakai untuk memandikan mayat beliau, bahkan masih ada sisanya.

Iman An-Nawawi setiap harinya berlajar 12 mata pelajaran, dan memberikan komentar dan catatan tentang pelajarannya tersebut. Umur beliau singkat, wafat pada umur 45 tahun, namun karya beliu sangat banyak dan masih dijadikan sumber rujukan oleh umat muslim saat sekarang ini.

Ibrahim bin al-Jarrah berkata, “Imam Abu Yusuf al-qadhi rahimahullah sedang sakit. Saya pun menjenguknya. Saat itu dia tidak sadarkan diri. Ketika terjaga, beliau lalu bersandar dan mengatakan, “Hai Ibrahim, bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?” Saya menjawab, “Dalam kondisi seperti ini?” Dia mengatakan, “Tidak mengapa, kita terus belajar. Mudah-mudahan ada orang yang terselamatkan karena kita memecahkan masalah ini.” Lalu saya pulang, ketika baru sampai rumah, saya mendengar kabar bahwa beliau telah wafat.

Al Biruni, (362H—440H), seorang ahli ilmu falak dan ilmu eksakta, ahli sejarah, dan menguasai lima bahasa yaitu bahasa Arab, Suryani, Sanskerta, Persia dan India. Saat detik-detik terakhir hidup beliau, tetap mempelajari masalah faraidh (waris). Lalu seorang berkata kepada beliau, layakkah engkau bertanya dalam kondisi seperti ini? Beliau menjawab, kalau aku meninggalkan dunia ini dalam kondisi mengetahui ilmu dalam persoaalan ini, bukankah itu lebih baik dari pada aku hanya sekedar dapat membayangkannya saja, tidak tahu ilmu tentangnya. Tidak lama setelah itu beliau wafat.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menceritakan kepada kita, Ibnu Aqil berkata, “Aku menyingkat semaksimal waktu-waktu makan, sehingga aku lebih memilih memakan kue kering yang dicelup ke dalam air  dari pada memakan roti kering, karena selisih waktu mengunyahnya ( dengan waktu  mencelup kue dengan air lebih pendek daripada waktu memakan roti kering) sehingga selisih waktu itu bisa aku gunakan untuk membaca dan menulis suatu faedah yang sebelumnya tidak aku ketahui.”

Ibnu Nafis seorang ulama dan dokter terkemuka yang unggul, ia senantiasa menjaga setiap waktunya dan kesempatannya guna menorehkan ide dan pemikirannya, justru disaat-saat yang paling unik dan asing bagi yang lainnya. Beliau adalah pemuka dan orang yang terkemuka dalam ilmu kedokteran, dan memiliki banyak karya dalam bidang kedokteran. Diceritakan bahwa beliau mencatat sejumlah persoalan kedokteran disela-sela mandinya yaitu mengenai denyut nadi. Beliau lahir di Damaskus tahun 610H, dan wafat di Kairo pada tahun 687H.

Begitulah nilai waktu dalam Islam, dan teladan daripasda ulama, dan ilmuwan Islam terdahulu dalam memakai waktu, tanpa membuang waktu sedikitpun, sebab mereka memahami bahwa satu detik , satu menit waktu berjalan tanpa suatu perbuatan yang baik, itu merupakan kerugian dalam hidup sebagaimana dinyatakan Al Quran dalam surah Al Ashr  : Dewi waktu, bahwa manusia itu dalam keadaan rugi, kecuali orang yang beriman dan beramal saleh, dan saling nasehat menasehati dalam kebenaran dengan penuh kesabaran “. Fa’tabiru Ya Ulil Albab.

Share This Post

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

More To Explore

Do You Want To Boost Your Business?

drop us a line and keep in touch

Discover more from ISTAID Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading