No 1326 TAKDIR, DOA DAN IKHTIAR

 TAKDIR, DOA DAN IKHTIAR

Buletin JUmat 19 Oktober 2018 / 10 Safar 1440 H

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami khazanahnya dan Kami tidak akan menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu” (QS. al Hijr: 21).

 

Bagi seorang manusia yang beriman kepada Allah akan meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi itu merupakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan, pemilik alam semesta. Ketentuan Tuhan itu disebut dengan Qadha, hanya saja dalam masyarakat disebut dengan takdir. Oleh sebab itu beriman kepada Qadha dan Qadar itu merupakan salah satu dari rukun Iman. Sebenarnya kata-kata Qadhar secara bahasa bermakna ukuran, kemampuan, ikhtiar sedangkan kata-kata Qadha secara bahasa adalah keputusan dan ketentuan. Segala keputusan Tuhan itu akan terjadi sesuai dengan takdir yang telah ditentukannya.

Takdir Allah terdiri dari takdir Azali, Takdir Umri, Takdir Sanawy dan Takdir Yaumi.

Takdir Azali adalah ketentuan Tuhan yang bersifat azali yang telah ditentukannya sebelum kejadian bumi, sebagaimana dinyatakan dalam seuah hadis  “Allah telah menentukan berbagai ketentuan (takdir) para makhluk 50ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi  (Hadis riwayat Muslim). Dari hadis ini dapat kita pahami bahwa Allah telah menentukan takdir sebelum penciptaan langit dan bumi, inilah yang dinamakan takdir azali.

Ada lagi Takdir umri, yaitu takdir yang ditentukan sewaktu ruh ditiupkan kepada badan manusia, sebagaimana dinyatakan oleh hadis  “Sesungguhnya salah seorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal darah selama itu pula, kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus seorang malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan untuk menulis 4 kalimat yaitu untuk menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celakanya atau bahagianya“ (Riwayat Bukhari dan Muslim ).

Disamping itu ada lagi Takdir Sanawy, yaitu takdir yang ditentukan untuk setahun, yang dlakukan pada setiap malam lailatul qadar, sebagaimana firman Allah  “Pada malam itu (lailatul qadar) turun malaikat dan malaikat Jibril untuk mengatur segala urusan “ ( QS. al Qadr : 4 )

Terakhir ada Takdir yang bersifat setiap hari yang disebut dengan Takdir Yaumi, yaitu takdir yang dapat berubah setiap saat sesuai dengan kehendak Allah subhana wataala, sebagaimana dinyatakan dalam ayat  “Setiap hari Allah berada dalam kesibukan“ (QS. ar Rahman: 29).

Sebagai seorang yang beriman kita juga yakin bahwa Tuhan Maha Kuasa dan memiliki kekuasaan yang mutlak, sehingga takdir yang telah ditentukan tersebut dapat berubah sesuai dengan keinginannya dan iradahNya. Oleh sebab itu takdir tersebut dapat ditolak dan dirubah dengan doa dan usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia, hanya saja do’a dan usaha tersebut tetap tergantung dengan keputusan Allah, apakah doa dan usaha itu dikabulkannya atau ditolaknya. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa “Tidaklah merubah suatu takdir melainkan dengan Doa“ (HR. Hakim dan Tirmidzi ).

Penolakan takdir dengan do’a tersebut dilanjutkan dengan usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk memperbaiki keadaan yang sudah terjadi. Usaha dan ikhtiar manusia itu disebut dengan “Qadar”, sebagaimana dinyatakan dalam ayat al Quran.  “Dan segala sesuatu itu ada ukurannya (qadar) pada sisi Allah” ( QS. al Ra'du :8).

Dalam ayat yang lain: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (qadar)nya masing-masing” (QS. alQamar:49)

Dari ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa makna QADAR adalah  ukuran atau  sunnatullah (hukum Allah) yang telah ditetapkan terhadap sesuatu. Sedangkan QADHA adalah keputusan Tuhan terhadap sesuatu setelah menjalankan hukum Allah (qadar) terhadap sesuatu tersebut. 

Oleh sebab itu jika seorang hamba melakukan sesuatu sesuai dengan Qadar, usaha yang telah Allah tetapkan bagi setiap sesuatu, dan usaha tersebut akhirnya diputuskan dalam Qadha itulah yang disebut dengan  TAKDIR yaitu keputusan Tuhan terhadap sesuatu setelah memperhatikan ikhtiar manusia terhadap sesuatu tersebut.

Sebagai Contoh,   jika seorang yang berikhtiar makan (makan adalah qadar untuk kenyang), maka jika dia memakan sesuatu makanan, maka takdirnya adalah kenyang. Tetapi jika  dia tidak berusaha untuk makan, sedangkan makanan ada di hadapannya, maka Allah akan memberikan taqdir lapar kepadanya.  Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa  memakan suatu makanan adalah  ikhtiar untuk merasakan kenyang. Kenyang adalah qadha (takdir Allah), setelah seseorang itu melakukan  Ikhtiar makan, maka jika seseorang itu makan dia akan ditaqdirkan kenyang,  sedang jika seseorang itu tidak makan maka dia akan ditaqdirkan  lapar.

Sewaktu terjadi wabah penyakit menular, Khalifah Umar bin Khattab menyuruh masyarakat yang berada di kawasan tersebut supaya menghindar lari kepada kampung yang lain. Kemudian diantara sahabat ada yang berkata: wahai Umar, mengapa kita lari ke kampung lain, jika Allah taqdirkan kita terkena penyakit walaupun kita lari tetap kena penyakit; dan jika Allah taqdirkan kita tidak terkena penyakit, walaupun kita berada di kampung ini tetap tidak akan terkena penyakit. Khalifah Umar bin Khattab segera menjawab: “Kita lari daripada suatu taqdir  untuk mencari taqdir yang lain”.

Umar bin Khattab kemudian bertanya: “Apa pendapat kamu, jika kamu sebagai pengembala yang mengembalakan  kambing. Bukankah jika kamu turun ke suatu lembah yang memiliki dua lahan yang berbeda, satu kawasan padang yang subur memiliki banyak rumput, sedangkan satu lagi kawasan padang yang tandus. Dan jika engkau membawa kambing ke padang yang subur, maka engkau mengembalakan kambing yang akan ditakdirkan mendapatkan makanan rumput yang subur, dan ini takdir Allah. Demikian juga jika engkau bawa kambing ke padang yang tandus maka kambing tersebut tidak mendapat rumput. Ini juga merupakan Takdir Allah”.

Khalifah Umar bin Khattab kemudian bertanya kepada Abdurahman bin Auf tentang perkara ini. Andurahman bin Auf berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tentang perkara ini saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Apabila kamu mendengar bahwa di suatu daerah berjangkit penyakit, maka janganlah kamu datang ke kampung tersebut (agar kamu tidak terkena penyakit tersebut). Tetapi apabila kamu berada di suatu kampung yang sudah berkena wabah penyakit, maka janganlah engkau keluar dari kampung itu (agar penyakit itu tidak menular kepada orang lain di luar kampung tersebut)”.  Umar bergembira sebab hadis tersebut sesuai dengan pendapatnya. 

Ibnu Qayim menyatakan dalam kitab “Madarijus salikin” bahwa dalam menolak taqdir tersebut ada dua macam :

(1) Menolak taqdir dengan sesuatu sebab yang dapat menolaknya, contoh menolak taqdir dikuasai musuh dengan melawannya; menolak taqdir agar udara tidak panas dengan membuat udara sejuk, dan lain sebagainya.

(2). Menolak taqdir yang telah terjadi dengan mencari taqdir yang dapat menghilangkannya, seperti taqdir sakit dihilangkan dengan taqdir mencari obat terhadap penyakit tersebut, menolak taqdir dosa dengan taqdir bertaubat.

Pendapat Ibnu Qayim ini  disandarkan kepada dalil bahwa Rasulullah saw pernah ditanya sahabat: Ya Rasulullah, apakah obat yang kita pakai dalam mengobati suatu penyakit, atau doa (ruqyah) yang dibaca, ataupun ketaqwaan kita kepada Allah,  dapatkah itu semua menolak taqdir Allah..?

Nabi menjawab: “Sakit itu adalah Taqdir Allah, tetapi engkau juga wajib berusaha dan berikhtiar agar sembuh dengan mencari taqdir Allah dalam mengambil obat, dan apa saja yang kamu usahakan untuk mengobati penyakit, itu juga Taqdir Allah “ ( riwayat Tirmidi ).

Diriwayatkan  Nabi Musa menderita sakit, dan datang pengikutnya berkata:  Berobat dengan obat ini, biasanya kami sembuh dengan obat ini“. Musa menjawab: Aku tidak akan berobat sampai Allah menyembuhkanku tanpa obat“. Akibatnya Nabi Musa tetap sakit. Kaumnya berkata: “Kami biasa dengan obat ini, dan biasanya kami sembuh setelah memakan obat ini“. Musa menjawab:  “Aku tidak akan berobat “. Allah berfirman kepada Nabi Musa: “Wahai Musa, demi kemuliaanKU dan keagunganKU, Aku tidak akan menyembuhkan engkau, sebelum engkau berobat dengan apa yang mereka katakan“. Setelah itu Musa mengambil obat yang disarankan,  dan dengan izin Alah Musa sembuh dari penyakit tersebut.”

Dari riwayat diatas dapat diketahui bahwa manusia wajib berikhtiar, dalam menghadapi segala sesuatu menghadapi takdir Allah, bukan hanya berpasrah diri tanpa usaha dan ikhtiar.  Fa’tabiru ya Ulil albab.

 

Share This Post

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

More To Explore

Do You Want To Boost Your Business?

drop us a line and keep in touch

Discover more from ISTAID Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading