No. 1226 Urgensi Tafsir al-Quran
Renungan Jumat ISTAID No. 1.226 | Muharram 1438 H | Oktober 2016
Jumat, 21 Oktober 2016
“Barangsiapa yang menafsirkan al-Quran dengan akalnya sendiri, berarti dia telah meenyediakan tempat duduknya di dalam api neraka”. (Hadis Muttafaq alaihi)
Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wassalam untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat. Al-Quran itu diturunkan dengan bahasa Arab: “Demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) al-Quran dalam bahasa Arab agar kamu dapat memberi peringatan kepada penduduk Makah, dan penduduk negeri-negeri sekelilingnya”. (QS. as-Syura: 7)
Dalam ayat yang lain dinyatakan: “Sesungguhnya Kami turunkan al-Quran dengan bahasa Arab agar kamu dapat memahaminya”. (QS. Yusuf: 2)
Dalam ayat lain Allah menyatakan: “Sesungguhnya Kami jadikan al-Quran itu berbahasa Arab agar kamu memahaminya”. (QS. al-Zukhruf: 3)
“Itulah al-Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan di dalamnya agar mereka bertaqwa”. (QS. az-Zukhruf: 28)
Kitab al-Quran diturunkan secara ayat demi ayat agar mudah dipahami. “Kitab al-Quran yang telah dijelaskan ayat-ayatnya dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui”. (QS. Fushilat: 3)
Al-Quran diwahyukan kepada Nabi Muhammad sallahu alaihi wasallam, berarti Nabi Muhammad adalah manusia yang paling mengetahui maksud dari ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Dalam ayat-ayat al-Quran, sebagai-mana karakteristik semua bahasa, terdapat ayat-ayat yang telah jelas maknanya sebagaimana tertulis, tetapi ada juga ayat-ayat yang mempunya makna yang banyak. Oleh sebab banyak ayat-ayat yang disampaikan kepada sahabat disertai dengan penjelasan dari ayat-ayat dan kata-kata dari ayat yang harus dipahami secara jelas, sehingga tidak menimbulkan salah paham dalam memahami ayat tersebut. Hal ini dinyatakan dalam al Quran: “Dialah yang menurunkan kepadamu (Muhammad) kitab suci al-Quran. Sebagian dari ayat-ayat tersebut ada yang ‘muhkamat’ (yaitu ayat-ayat yang telah jelas maknanya dan tetap hukumnya), tetapi sebagian lagi terdapat ayat-ayat ‘mutasyabihat’ (yaitu ayat-ayat yang memiliki makna yang banyak sehingga diperlukan kajian mendalam atas makna ayat tersebut)”. ( QS. ali-Imran: 7)
Oleh sebab diantara ayat-ayat al-Quran itu memerlukan penjelasan makna yang sebenarnya, dan penjelasan tersebut tidak bertentangan dengan asas-asas keilmuan Islam, maka diperlukan tafsir al-Quran, sehingga pemahaman ayat-ayat al Quran itu sesuai penjelasan Nabi Muhammad terhadap ayat-ayat tersebut. Hanya Nabi Muhammad manusia yang paling memahami makna al-Quran, sebab al-Quran itu diturunkan kepada beliau.
Walaupun disana juga terdapat ayat-ayat al-Quran yang tidak diketahui mana dan artinya, sebab ayat tersebut tidak terdapat dalam perkataan bahasa Arab, seperti ayat-ayat yang terdiri dari huruf-huruf yang dihimpun seperti “Alif- Lam-Mim”, “Kaf-Ha-Ya-Ain-Shad”, dan lainnya.Pada ayat seperti ini, semua ahli tafsir berkata bahwa “Allah lebih mengetahui akan maknanya”, sebab memang kata-kata itu tidak terdapat dalam ucapan bahasa Arab, hanya didalam al-Quran.
Ini untuk membuktikan bahwa ayat-ayat al-Quran ini bukan rekaan dan ciptaan Nabi Muhammad sendiri, sebab di dalam al-Quran tersebut terdapat ayat-ayat yang terdiri dari kumpulan huruf-huruf yang tidak dipahami oleh orang Arab sendiri, sebagaimana “Alif-Lam-Mim”, dan lainnya.
Pada masa sahabat di awal Islam, jika ada ayat yang bersifat samar-samar, atau memiliki makna yang banyak, maka sahabat langsung dapat langsung bertanya kepada Rasulullah. Karena itu dalam kitab-kitab hadis, terdapat Bab tafsir al-Quran, maksudnya hadis berkaitan dengan makna ayat-ayat yang pernah ditanyakan sahabat kepada nabi Muhammad langsung pada waktu beliau hidup. Malahan Nabi mendo’a kan Ibnu Abbas, salah seorang sahabat dan keluarga beliau untuk menjadi ahli tafsir alQuran dengan sabdanya: “Ya Allah, jadikanlah Ibnu Abbas ini diantara orang yang pandai dalam menafsirkan al Quran”.
Dari ungkapan do’a ini saja terlihat bahwa tafsir al-Quran adalah suatu yang penting, sebab jika tanpa tafsir, maka setiap orang boleh menafsirkan al-Quran tanpa merujuk kepada penafsiran Nabi dan sahabat. Dengan doa nabi tersebut, para sahabat nabi sendiri terutama setelah wafatnya Rasulullah, banyak bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna suatu ayat, sehingga jawaban Ibnu Abbas itu terkumpul dalam kitab Tafsir Ibnu Abbas.
Walaupun al Quran berbahasa Arab, pemahaman terhadap al-Quran tidak sama, sebab ada sahabat selalu bersama Nabi dan memahami yang mengerti sebab turun ayat, ada sahabat yang jarang bersama Nabi. sahabat yang selalu bersama Nabi lebih mampu untuk menafsirkan suatu ayat dibandingkan yang lain. Sehingga kadangkala sahabat sendiri bertanya kepada sahabat yang lain tentang tafsir ayat-ayat tertentu.
Sebagai contoh, Khalifah Umar bin Khattab mengangkat Qudamah menjadi gubernur Bahrain. Pada suatu hari, Jarud mengadukan kepada khalifah bahwa Qudamah telah minum arak sampai mabuk. Khalifah bertanya siapa yang menyaksikan peristiwa tersebut?. Jarud menyatakan, Abu Hurairah telah menyaksikan apa yang dilapor kannya. Akhirnya Khalifah Umar memanggil Qudamah menghadap dan berkata: “Qudamah, aku akan menderamu”. Qudamah menjawab: “Seandainya aku minum arak sebagaimana yang mereka katakan, maka tidak ada alasan bagi engkau untuk mendera (menghukum)”. Khalifah Umar bertanya: “Kenapa demikian?”. Qudamah menjawab: “Karena Allah telah berfirman: ‘Tidak ada dosa bagi orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh karena memakan makanan yang mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta beriman, kemudian mereka tetap bertaqwa dan berbuat kebajikan, dan Allah menyukai orang yang berbuat kebajikan’. (QS. al-Maidah: 93) Saya adalah orang beriman, mengerjakan amal saleh kemudian bertaqwa dan beriman, saya ikut perang Badar, perang Uhud, dan peperangan yang lain”.
Khalifah Umar berkata: “Apakah ada diantara kamu sekalian yang membantah perkataan Qudamah?”. Ibnu Abbas langsung berkata: Sesungguhnya ayat al Maidah 93 itu diturunkan sebagai kema’afan terhadap perbuatan umat sebelum ayat ini diturunkan. Tetapi ayat tersebut tidak dapat dipakai untuk masalah minum khamar, karena Allah berfirman: “Hai orang yang beriman, sesungguhnya meminum arak, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syetan. Karena itu jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. al-Maidah: 90) Mendengar penjelasan dan penafsiran dari Ibnu Abbas tersebut, Khalifah Umar berkata: “Benarlah apa yang dikatakan Ibnu Abbas”.
Dari kisah diatas dapat diketahui behwa sahabat Ibnu Abbas lebih mengetahui tentang sebab turunnya ayat al Maidah 93 dibanding sahabat Qudamah. Menurut Ibnu Abbas ayat 93 surah al Maidah itu diturunkan sebab sahabat-sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang sahabat yang telah meninggal dunia yang mereka itu dahulunya sering minum arak (sebelum turun ayat yang mengharamkan) seperti Sayidina Hamzah, paman nabi yang gugur sebagai syahid dalam perang Uhud. Ada sahabat yang mengatakan bahwa Hamzah tetap berdosa karena perbuatannya yang telah lalu tersebut. Maka turunlah ayat 93 Surah al-Maidah yang menyatakan bahwa umat Islam yang telah meninggal dunia sebelum diturunkannya ayat tersebut, maka mereka itu tidaklah berdosa karena meminum arak di masa lalu, sedangkan sekarang ini (setelah turunnya ayat), maka hukum minumnya adalah dosa.
Pada masa zaman sahabat, terdapat beberapa orang sahabat yang dikenal sebagai penafsir alQuran, seperti Abubakar as Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, disamping sahabat yang banyak menjadi rujukan sahabat-sahabat lain, seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, disamping beberapa sahabat yang dapat memahami tafsir dari ayat-ayat tertentu.
Pada masa tabi’in (pengikut sahabat) terdapat ahli tafsir seperti Mujahid, Atha bin Rabah, Ikrimah, dan Sa’ad bin Jubair, semuanya murid dari sahabat Ibnu Abbas. Sedangkan tabi’in yang mengambil tafsir dari Abdullah bin Mas’ud adalah Masruq bin Ajda, Qatadah bin Diamah.
Pakar tafsir dari tabi’in mengajarkan kepada murid-muridnya dari kalangan tabi’ut tabi’in (pengikut dari tabi’in) sehingga terdapat ahli tafsir dari mereka seperti Sufyan bin Uyanah, Jazid bin Harun, al Kalbi, Muhammad Ishaq, Muqatil bin Sulaiman, al Waqidi, dan Ibnu Jarir alTabary.
Pada hari ini, Tafsir Ibnu Abbas, Tafsir Mujahid, dan Tafsir Thabari yang ditulis oleh Ibnu Jarir masih dapat dibaca sampai sekarang dan menjadi rujukan utama kitab-kitab tafsir yang ditulis para ulama yang memiliki otoritas dalam ilmunya.
Kitab-kitab tafsir yang ditulis ulama yang muktabar itu bukanlah penafsiran sendiri, tetapi merupakan penafsiran yang memiliki rujukan penafsiran ayat yang bersumber dari Rasulullah langsung, dan sahabat-sahabat beliau yang mendengar langsung dari Rasulullah.
Itulah sebabnya umat Islam hari ini juga dalam memahami ayat-ayat al-Quran perlu merujuk kepada kitab-kitab tafsir dari ulama yang muktabar, bukan dengan penafsiran sendiri-sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok liberal dengan dalih bahwa Allah itu yang lebih mengetahui akan makna yang sebenarnya, padahal Rasulullah telah memberi peringatan: “Siapa yang menafsirkan al-Quran dengan akalnya sendiri, berarti dia telah menyediakan tempat duduknya di dalam api neraka”. (Muttafaq alaihi – hadis yang disepakati atas kesahihannya)
Semoga kita terhindar menafsirkan aat-ayat al Quram dengan akal sendiri dan berlainan dengan tafsir dari Rasulullah dan sahabat-sahabat nabi, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok liberal dengan alasan bahwa hanya Allah yang paling mengetahui tentang tafsirnya, apalagi jika penafsiran itu dilakukan oleh orang yang kafir yang tidak beriman kepada kitab suci al-Quran.
Fa’tabiru Ya Ulil albab.
DR. M. Arifin Ismail MA. M. M.Phil
Buletin
Komentar