FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 56 Tahun 2016 Tentang
HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah MENIMBANG :
a. bahwa di masyarakat terjadi fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam, sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau simbol keagamaan nonmuslim yang berdampak pada siar keagamaan mereka
b. bahwa untuk memeriahkan kegiatan keagamaan non-Islam, ada sebagian pemilik usaha seperti hotel, super market, departemen store, restoran dan lain sebagainya, bahkan kantor pemerintahan mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari non-muslim;
c. bahwa terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim guna dijadikan pedoman
.
MENGINGAT :
1. Al-Quran
a. Firman Allah menjelaskan larangan meniru perkataan orang kafir, antara lain: “Hai orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): ‘Raa´ina’, tetapi katakanlah: ‘Unzhurna’, dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. A-Baqarah: 104)
b. Firman Allah melarang mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, antara lain: “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (QS. alBaqarah : 42)
c. Firman Allah menjelaskan tentang toleransi dan hubungan antar agama, khususnya terkait dengan ibadah, antara lain: "Katakanlah: “Hai orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS. alKafirun: 1-6)
d. Firman Allah menjelaskan larangan mengikuti jalan, petunjuk, dan syi’ar selain Islam, antara lain:” dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (QS. AlAn’am: 153)
e. Firman Allah tidak melarang orang Islam bergaul dan berbuat baik dengan orang kafir yang tidak memusuhi Islam : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berlaku adil”. (QS. A-Mumtahanah : 8)
f. Firman Allah mengkhabarkan bahwa orang mukmin tidak bisa saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan RasulNya, antara lain: “ Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang itu bapak atau anak- atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS. AlMujadilah: 22)
2. Hadis Rasulullah saw, antara lain:
“ Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot panjang, dan pendekkanlah kumis” ( Bukhari / Muslim)
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra dari Nabi saw: “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti tuntunan orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka memasuki lubang biawakpun tentu kalian mengikuti mereka juga” Kami berkata: Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nashara? Maka beliau berkata: “Maka siapa lagi?.” ( Bukhari / Muslim).
: “Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta’ala semata dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” ( Ahmad)
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” ( Abu Dawud)
: “Bukan dari golongan kami orang yang menyerupai selain kami, maka janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya”. ( alTirmidzi)
3. Qaidah “Sadd al-Dzari’ah” dengan mencegah sesuatu perbuatan yang lahiriyahnya boleh akan tetapi dilarang karena dikhawatirkan akan mengakibatkan perbuatan yang haram, yaitu pencampuradukan antara yang hak dan bathil.
4. Qaidah Fidhiyyah:: “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan"
Memperhatikan:
1. Imam Khatib Syarbaini dalam kitab “Mughni al-Muhtaj ” Jilid 5 hal. 526, sebagai berikut: “Dihukum ta’zir terhadap orang yang menyamai dengan kaum kafir dalam hari raya mereka, dan orang yang mengurung ular dan masuk ke dalam api, dan orang yang berkata kepada seorang kafir dzimmi ‘Ya Hajj’, dan orang yang mengucapkan selamat kepadanya (kafir dzimmi) di hari raya (orang kafir)...”.
2. Imam Jalaluddin Syuyuthi dalam Kitab “Haqiqat al-Sunnah wa al-Bid’ah”’, hal. 42: Termasuk bid’ah dan kemungkaran adalah sikap menyerupai dengan orang kafir dan menyamai mereka dalam hari raya dan -perayaan mereka yang dilaknat oleh Alla). Sebagaimana dilakukan banyak kaum muslimin yang tidak berilmu, yang ikut-ikutan orang Nasrani dan menyamai mereka dalam perkara yang mereka lakukan… Adapun menyerupai orang kafir hukumnya haram sekalipun tidak bermaksud menyerupai”.
3. Ibnu Hajar al-Haitami dalam Kitab “ al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah” jilid IV hal. 239 : Di antara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum Nasrani di hari raya mereka, dengan menyerupai mereka dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima hadiah dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi perhatian pada hal ini adalah orang Mesir, padahal Nabi saw telah bersabda:“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka”. Bahkan Ibnul Hajar mengatakan: “Tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada seorang Nasrani apapun yang termasuk kebutuhan hari rayanya, baik daging, atau lauk, ataupun baju. Dan mereka tidak boleh dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan, karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan wajib bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan tersebut”.
4. Tafsir Ibnu Katsir Juz I hal. 373 saat menjelaskan makna surah al-Baqarah ayat 104: Sesungguhnya Allah melarang orang mukmin untuk menyerupai orang kafir baik dalam ucapan atau perbuatan, Maka Allah berfirman: “Hai orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa´ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”
5. Ibnu Taimiyyah dalam Kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid XXII hal. 95 menyatakan” Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berdampak pada kesamaan dan keserupaan dalam akhlak dan perbuatan. Oleh karena itu, kita dilarang menyerupai orang kafir.”
6. Ibnu Qoyyim al Jauzi dalam kitab “Ahkam Ahl alDzimmah, Jilid 1 hal. 441-442: “Adapun memberi ucapan selamat pada syiar kekufuran yang khusus bagi orang kafir adalah haram berdasarkan ijma’.. Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari raya ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan “selamat pada hari raya ini” dan yang semacamnya. Maka ini, jika orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, maka ini termasuk perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka setara dengan ucapan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”
7. al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari, sebagaimana dikutip Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadi dalam kitab “Aun al-Ma’bud, Juz XI hal 74 dalam menjelaskan hadits tentang tasyabbuh: Al-Qori berkata: “Maksudnya barangsiapa dirinya menyerupai orang kafir seperti pada pakaiannya atau lainnya atau (menyerupai) dengan orang fasik, pelaku dosa serta orang ahli tashawwuf dan orang saleh dan baik (maka dia termasuk di dalamnya) yakni dalam mendapatkan dosa atau kebaikan.”
Dengan bertawakkal kepada Allah swt memutuskan:
MENETAPKAN : FATWA TENTANG HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan :
Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
Ketiga : Rekomendasi
1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.
3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim.
4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.
5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.
6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.
Ketiga : Penutup
1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di Jakart pada tanggal : 14 Rabi’ul Awwal 1437 H / 14 Desember 2016 M
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA ( Ketua )
DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA ( sekretaris )
Buletin
Komentar