1485 KEDUDUKAN GURU
“ Allah telah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya “ ( QS. Alaq : 5 )
Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Al-Mut’allim menceritakan bahwa pada suatu saat Khalifah Harun Ar-Rasyid mengirimkan putranya kepada Imam Al-Ashma’i, salah satu ulama besar untuk belajar ilmu dan adab. Pada suatu hari, Khalifah Harun Ar-Rasyid menyaksikan Al-Ashma’i sedang berwudhu dan membasuh kakinya, sedangkan putra Harun Ar-Rasyid menuangkan air untuk sang guru. Setelah menyaksikan peristiwa tersebut, Harun Ar-Rasyid pun berkata kepada guru anaknya tersebut : “Sesungguhnya aku mengirimkan anakku kepadamu agar engkau mengajarinya ilmu dan adab. Mengapa engkau tidak memerintahkannya untuk ia menuangkan air dengan salah satu tangannya lalu membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?” Dari kisah ini terlihat bahwa Khalifah Harun Rasyid ingin agar anaknya dilatih sikap merendahkan diri di depan gurunya dengan membasuhkan kedua kaki gurunya tersebut. Sebab dengan cara demikian, maka anak khalifah akan tertanam sikap rendah hati dan terlepas dari sikap sombong.
Demikian juga dengan Khalifah Al-Makmun, yang berusaha untuk menumbuhkan sifat tawadhu kepada para putranya. Ibnu Khalikan dalam kitab Wafayat Al-A’yan telah mencatat peristiwa yang menunjukkan betapa Khalifah Al-Makmun berusaha untuk mendidik putra dan putrinya mempunya adab dan akhlak yang mulia. Pada suatu ketika itu, Khalifah Al-Makmun menunjuk Al-Farra’, seorang ulama untuk mendidik anaknya. Suatu saat setelah selesai menyampaikan ilmunya, Al-Farra’ pun bangkit dari tempatnya untuk meninggalkan istana. Kemudian kedua putra Al-Makmun berebutan untuk menyiapkan sandal yang akan dipakai oleh gurunya Al-Farra’. Perebutan sandal itu menyebabkan keduanya bertengkar dan akhirnya berdamai dan bersepakat bahwa masing-masing membawa satu sandal untuk diserahkan kepada Al-Farra’. Berita mengenai pertengkaran itu akhirnya sampai ke telinga Khalifah Al-Makmun. Dengan segera Khalifah memanggil Al-Farra’.
Setelah Al-Farra’ menghadap, Al-Makmun bertanya, ”Siapa orang di Baghdad ini yang paling terhormat?” Al-Farra’ menjawab, ”Paduka orang yang paling dihormati di negeri ini.” Al-Makmun bertanya lagi, ”Lantas siapa orang yang menyebabkan perkelahian karena berebut membawa sandalnya?” Al-Farra’ menjawab, ”Hamba sebenarnya hendak melarangnya, namun hamba khawatir merusak karakter baik kedua putra paduka yang telah tertanam sebelumnya.” Menyimak alasan Al-Farra’, Al-Makmun menyampaikan, ”Aku telah mengajari anakku meskipun mereka dihormati, untuk bersikap tawadhu kepada tiga orang, yakni orangtuanya, gurunya, serta pemimpinnya. Bahkan aku melatih mereka dalam hal ini sampai menghabiskan 20 ribu dinar. Sebab itu, aku memberimu 10 ribu dirham sebagai balasan atas pendidikanmu yang baik kepada anak-anakku.”
Pendidkan adab menghormati kedudukan guru dan sikap tawadhu seorang khalifah Harun Ar-Rasyid kepada guru diikuti dengan mendidik putra-putranya tidak hanya slogan tetapi sikap yang beliau lakukan sendiri untuk memberikan contoh dan tauladan kepada masyarakat merupakan bukti sejarah bagaimana Islam menghormati kedudukan seorang guru. Kisah-kisah ini. tercatat dalam kitab Al-Adab As Syari’iyah oleh As-Safarini. Demikian juga pada suatu saat Imam Malik diminta oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk berkunjung ke istana dan mengajar Hadits kepadanya. Namun Imam Malik tidak hanya menolak datang, Imam Malik malah meminta agar khalifah yang datang sendiri ke rumah beliau untuk belajar. “Wahai Amirul Mukminin, ilmu itu didatangi, tidak mendatangi,” kata Imam Malik. Akhirnya, Harun Ar-Rasyidlah yang datang kepada Imam Malik untuk belajar. Pada saat Imam Malik sedang mengajar, datanglah Khalifah Harun al Rasyid duduk di atas kursi, maka Imam Malik berkata : : Para pencinta ilmu sangat menghargai ilmu, maka tak seorangpun dapat duduk lebih tinggi dari ilmu “. Mendengar sindiran itu, Khalifah turun dari kursi dan duduk di bawah bersama-sama dengan jamaah pengajian lainnya. Demikian khalifah Islam, Harun ar Rasyid memuliakan kedudukan guru, sehinga bersedia duduk bersila bersama-sama rakyat untuk mendengarkan ilmu yang akan disampaikan oleh seorang ulama.
Pada suatu hari Sahabat nabi Zaid bin Tsabit melakukan shalat jenazah. Setelah selesai dan akan pulang. Tiba-tiba datang Ibnu Abbas membawa kenderaannya untuk ditunggangi oleh Zaid bin Tsabit. Melihat hal demikian berkatalah Zaid : “ Tidak usah engkau susah payah untuk menawarkan kenderaanmu kepadaku wahai anak paman Rasulullah “. Ibnu Abbas menjawab : “ Beginilah kami disuruh oleh Rasululah beradab dengan para ulama dan menghormati orang yang besar “. Inilah adab memulaiakn guru yang merupakan inti dari kemajuan sebuah peradaban..
Adab kepada guru tak dapat dipisahkan daripada menuntut ilmu, sehingga Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata pernah berkata :” Aku adalah budak (hamba sahaya) bagi orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan walaupun hanya satu huruf saja. Kalau ia hendak menjualku, itu terserah dia. Kalau ia hendak membebaskan diriku, itupun terserah dia dan jika ia mau dia dapat menjadikanku budak kepadanya “.
Imam Syafi’I pada suatu saat sewaktu sedang mengajar, tiba-tiba datanglah seorang arab baduwi dengan pakaian yang lusuh. Imam Syafii segera menjumpainya dan mencium tangan serta memeluk orang tua yang dijumpainya itu. Setelah selesai mengajar, murid Imam Syafii bertanya kepada gurunya: “ Mengapa enkau mencium tangan dan memeluk orang tua itu sedangkan engkau seorang ulama terkenal ? “ Imam Syafii menjawab : “ Pada suatu hari saya sedang menulis kitab fiqih, dan saya mempunyai satu masalah yaitu bagaimana membedakan antara anjing yang sudah baligh dan anjing yang belum baligh. Saya berfikir bahwa orang yang paling mengetahui hal ini adalah orang baduwi sebab mereka biasanya memelihara anjing untuk mengawal kambing-kambing mereka. Saya bertanya kepada orang tua yang datang tadi. Orangtua tadi menjelaskan kepadaku bahwa anjing yang baligh akan mengangkat sebelah kakinya jika dia sedang buang air. Dengan informasi dari orangtua itu tadilah saya dapat menyelesaikan penuisan kitab fiqih “. Berarti Imam Syafii tetap menghormati dan menghargai ilmu dari orang tua tadi walaupun hanya menyampaikan sebuah informasi, dan ilmu yang sedikit.
Menghormati kedudukan ulama, ilmuwan, guru, para pahlawan dan pejuang merupakan syarat kemajuan suatu bangsa. Memuliakan guru bukan sekedar semboyan kosong, tetapi sikap yang dilaksnakan, sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah. Di masa kejayaan Islam, seorang ulama jika mengarang sebuah kitab, maka ulama tersebut akan mendapatkan emas seberat kitab yang dikarangnya tersebut dengan dana dari Baitul Maal. Penghargaan kepada ulama, ilmuwan, penelitian ilmiah, prestasi akademik merupakan salah satu syarat untuk kemajuan suatu bangsa, sedangkan penghinaan ulama, kriminalisasi ulama, ilmuwan merupakan tanda-tanda kehancuran suatu peradaban.
Demikianlah kemulaliaan guru yang harus dibentuk melalui pendidikan adab yang harus dilakukan oleh seorang murid kepada guru, masyarakat dan pemerintah kepada guru harus menjadi keutamaan dalam sistem pendidikan kita. Seorang murid belajar kepada guru bukan hanya untuk mencari ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih utama adalah terdidiknya murid dengan adab dan akhlak mulia. Sebab ilmu harus dilengkapi dengan akhlak sehingga ilmu itu bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Hasan al Bashri berkata : “ Janganlah engkau menjadi sebagian dari orang yang sibuk mengumpulkan ilmu dari ulama, kata-kata hikmah dari hukama, sedangkan perbuatan engkau seperti perbuatan orang yang bodoh ”. Menghormati guru adalah merupakan kewajiban bagi seorang murid sehingga Rasulullah bersabda dalam hadis : “ Tidaklah termasuk umatku orang yang tidak hormat kepada orangtua, tidak mengasihi orang muda dan tidak mengakui orang yang alim diantara kami “ ( riwayat Ahmad ).
Pada saat ini sikap menghormati guru sudah sangat jarang kita dapatkan di dalam masyarakat. Pada saat yang sama kita melihat ada sebagian masyarakat sudah tidak acuh tak acuh dengan gurunya, bahkan kadang-kadang berbuat tindakan yang tidak baik pada gurunya, seakan-akan dia lupa bahwa segela keberhasilan yang dicapainya dalam masyarakat itu semua berproses dari ilmu yang diperolehnya daripada guru-guru yang mendidiknya dari kecil sehingga dewasa. Ada lagi kelompok lain yang terlalu memuja gurunya, sehingga apa saja yang dikatakan gurunya dan apa yang disuruh gurunya dilakukannya walaupun itu bertentangan dengan hkum-hukum agama, sehingga terkadang mengkultuskan guru dan kuburan gurunya. Kedua sikap tersebut adalah salah, sebab penghormatan kepada guru bukan berarti pemujaan kepada guru.
Sudah saatnya masyarakat kembali untuk memuliakan kedudukan guru dan mengutamakan pendidikan adab, akhlak yang mulia disamping ilmu pengetahuan. Mari kembali kita didik anak-anak kita dengan adab-adab yang dilatih di lingkungan rumah, di lingkungan sekolah dn di tengah masyarakat. Orangtua di rumah mendidik anak-anaknya, guru di sekolah mendidik murid-murudnya, media tivi mendidik pemirsanya, tokoh masyarakat mendidik warganya dengan memberikan teladan yang baik, sehingga anak-anak kita dan masyarakat terbiasa dengan adab dan akhlak yang mulia, sebagaimana warga jepang yang selalu menanamkan akhlak mulia kepada anak didiknya sehingga memasukkan akhlak seperti mencuci kamar mandi, membersihkan pekarangan, mencuci piring, merupakan kurikulum sekolah, bukan sebagai hukuman atas suatu kesalahan. Sehingga berkata ulama salaf : “ Kami berhajat kepada adab yang banyak itu lebih daripada ilmu yang sedikit “. Semoga orangtua, guru, pemerintah dan masyarakat, khususnya media informasi memberikan peratian kepada mendidik adab lebih besar daripada hanya mengajarkan ilmu pengetahuan. Selamat Hari Guru. Fa’tabiru Ya ulil albab
![]() |
ReplyReply allForward |
Komentar