1476 Agama, Ateisme Dan Kehidupan
“ Maka apakah orang yang dilemparkan ke neraka ( karena mengingkari ayat Kami ) itu lebih baik ataukah orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat kelak ? ( QS.Fusilat : 40 )
Pada saat sekarang ini, menurut riset dari Gull Up, menyatakan bahwa faham ateisme berkembang pesat di banyak negara, termasuk negara-negara umat Islam. Di satu sisi kita melihat perkembangan agama Islam di beberapa negara Barat, tetapi pada waktu yang sama banyak yang meninggalkan agama, dan tidak peduli dengan agama. Sebagai contoh, di negara Mesir, berdasarkan jajak pendapat dari Universitas Al-Azhar Kairo pada tahun 2014, sebanyak 10,7 juta orang ( dari jumlah penduduk 87 juta ) mengaku ateis. Demikian juga di negara Saudi Arabia, mengutip hasil riset WIN-Gallup International , terdapat sekitar Sembilan belas persen dari masyarakat mengaku tidak terlibat dalam praktik keagamaan dan lima persen lainnyamengaku tidak beragama, alias ateis.
Fenomena meningkatnya masyarakat yang ateis ini sepatutnya mendapat perhatian utama. Hal ini mungkin disebabkan akibat islamophobia yang begitu berkembang, dimana sikap agama dikaitkan dengan perang, Tindakan terorisme dan lain sebagainya. Ditambah lagi dengan pemahaman yang sempit terhadap agama, sehingga masyarakat terutama generasi muda, generasi milineal, tidak mengetahui kentingnya agama bagi kehidupan. Terlebih lagi jika mereka melihat banyak negara yang tidak beragama menjadu negara maju, sedangkan negara yang memiliki umat beragama, menjadi negara miskin dan terbelakang, padahal kemiskinan , kedzaliman, peperangan yang terjadi di negara yang memiliki umat beragama tersebut, bukan disebabkan ajaran agamanya, tetapi disebabkan sikap dan prilaku masyarakat tersebut tidak melaksanakan ajaran agamanya dengan sempurna. Padahal agama seharusnya membentuk akhlak mulia, sehingga sikap beragama itu merupakan rahmat bagi kehidupan masyarakat. Jika kita melihat bahwa banyak negara yang ateis menjadi negara maju di dunia, bukan karena mereka ateis, tetapi mereka melaksanakan sunatullah kehidupan di dunia, tetapi kehidupan mereka di dunia itu tidak memberikan jaminan kebahagian hidup du akhirat, sebab kebahagian hidup di akhirat itu tergantung dengan keimanan kepada Allah, Tuhan pemilik kehidupan.
Jika kita melihat sejarah, terutama sejarah bangsa Indonesia, bahwa agama bagi bangsa Indonesia merupakan landasan utama dalam bernegara, oleh sebab itu bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama, terbukti dengan adanya sila ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama daripada dasar negara. Malahan sejarah juga menyaksikan bagaimana kelompok ateis komunisme sejak dahulu berusaha mengganggu perjalanan bangsa Indonesia, dengan pemberontakan-pemberontakan yang mereka lakukan, tetapi berkat perlindungan Allah dan Rahmat Tuhan, maka bangsa Indonesia dapat selamat dari pemberontakan tersebut. Oleh sebab itu, sepatutnya masyarakat tidak boleh melupakan sejarah, dan harus belajar dari sejarah, sehingga dengan itu kita akan tetap waspada dari segala bentuk pemahaman ateisme di masa mendatang.
Mengenai komunisme di Indonesia, maka ulama Buya Hamka pernah menulis di Majalah Panji Masyarakat , kolom dari Hati ke Hati, sebagai berikut : “ Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya.
Buya Hamka melanjutkan, bahwa pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah ‘komunis phobia’ dan suatu perbuatan yang amoral. Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).
Malanglah nasib alim-ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim-ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim-ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencacimaki alim-ulama kita. Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama 1957 ini kita siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966 lalu.
Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa : (1) Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya.(2) Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam. (3) Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat (PR) dan lain-lain (underbow PKI -red) tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut. Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. M. Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian itulah para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presidennya sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar).
Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, alim-ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Maka K.H. M. Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama kurang lebih 4 tahun. Dan banyak lagi alim-ulama yang terpaksa menderita dibalik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi. Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Di samping itu, ada ulama lain yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu, bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.
Bertahun-tahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Dan ulama yang dipandang kontra revolusi yag telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dan setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti Soekarno dan anti komunis.
Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al Quran, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis. Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya (G30S/PKI). Allah mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum Dia membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh alim-ulama itu hampir sepuluh tahun lalu. Sidang MPRS ke IV (1966) pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut : “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah dilarang”.
.
Dengan keputusan MPRS tersebut (TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966), apa yang mau dikata tentang alim-ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para alim-ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka. Dan sebagai ulama mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan. Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan. Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para nabi.
Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya atau seperti yang dialami Nabi Ibrahim a.s. yang dipanggan dalam api unggun yang besar bernyala-nyala, seperti Nabi Zakariya a.s. yang gugur karena digergaji dan lain-lain nabi utusan Allah. Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu, karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petika bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama lama tapi hanya dalam sejarah 10 tahun yang lalu. Demikianlah, tulisan Buya Hamka dari Hatike Hati yang diterbitkan Majalah Panji Masyarakat tentang bahaya komunisme. Dengan tulisan ini,kita berharap agar masyarakat tetap waspada dengan bahaya ateisme komunisme, yang terus berlangsung dengan berbagai bentuk dan kegiatan, dimana tujuan mereka adalah mengghapus dan menghilangkan agama dari kehidupan, sebab kehidupan tanpa agama akan memberi kesengsaraan selama-lamanya, dan kehidupan dengan landasan agama yang bernilai tauhid, merupakan kehidupan yang memberikan jaminan kebahagian dunia dan akhirat. Fa’tabiru Ya Ulil Albab.
Buletin
Komentar