1465 IBADAH DI MASA PANDEMI
“ Jangan kamu menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan “
( QS. Al Baqarah : 195 )
Pada saat ini banyak bertebaran video . ceramah, berkaitan dengan kewajiban penjarakan sosial dalam menghadapi wabah pandemik, sehingga umat Islam juga harus melakukan shalat berjamaah dengan berjarak antara satu sama lain. Pada sisi lain, juga banyak bertebaran dalam media sosial ceramah tentang tidak perlunya shalat berjarak, sehingga seakan-akan itu melanggar perintah Allah dengan memberikan dalil hadis yang tetap ke masjid walaupun di tengah wabah pandemik, sehinga pertentangan pendapat ini dapat meresahkan masyarakat. Padahal ulama telah sepakat bahwa ibadah dengan mematuhi protokol Kesehatan itu merupakan jalan terbaik, malahan di kawasan yang zona merah masyarakat tidak perlu ke masjid untuk melakukan shalat jamaah tetapi cukup dengan melakukan shalat di dalam rumah masing-masing, demi untuk menyelematkan diri dari kebinasaan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telah mengeluarkan fatwa terkait tata laksana ibadah praktis di masa darurat Covid-19; lalu ditegaskan dan didukung oleh fatwa-fatwa dari Ormas-Ormas Islam terkemuka di tanah air seperti Muhammadiyah, NU, Persatuan Islam (Persis), Wahdah Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia dan lain-lain; tetapi masih pandangan-pandangan pribadi tertentu yang bernuansa mempersoakan fatwa-fatwa resmi tersebut.
Syaikh Muhammad Ibn Shalih al-Útsaimĩn, seorang ulama terkemuka dan sangat berpengaruh di dunia Islam, dalam kitabnya “ Al-Ta’lĩq ‘alã Shahĩh al-Bukhãrĩ/V : hlm. 420 menyatakan bahwa : “ Penutupan masjid-masjid dan Ka’bah serta apa saja yang serupa dengannya untuk suatu keperluan adalah tidak apa-apa; dan jangan dikatakan bahwa penutupan tersebut termasuk bagian dari menghalangi masjid-masjid untuk dijadikan sebagai tempat berzikir kepada Allah. sebab hal ini kadang-kadang dilakukan untuk suatu kemaslahatan Bersama atau karena keadaa darurat tertentu.
Agung Danarta, dosen Hadis dari Universitas Islam Sunan kajijaga Yogyakarta telah meneliti tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan shalat jamaah walau di masa pandemic dengan hadis yang menganjurkan melakukan penjarakan sosial adalah sebagai berikut, terbukti bahwa hadis yang dipakai oleh kelompok yang tetap berjamaah malahan dengan tidak menjaga jarak sosial, merupakan hadis daif, sedangkan dalil yang dipakai untuk membolehkan shalat dengan jarak atau membolehkan tidak berjamaah di masjid terutama di masa pandemik ini adalah hadis sahih. Untuk lebih jelasnya tentang kedudukan hadis tersebut adalah sebagai berikuit :
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw telah bersabda “Sesungguhnya apabila Allah ta’ala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi, maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan masjid.” Hadis riwayat Ibnu Asakir (juz 17 hlm 11) dan Ibnu Adi (juz 3 hlm 232). Hadis ini dinyatakan sebagai hadis dhaif oleh Nashir al-Din al-Albani dalam kitab Silsilat al-Hadits al-Dha’ifat wa al-Maudhu’at, juz IV, hal. 222, hadis no. 1851.
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw. Juga telah bersabda: “Apabila Allah menghendaki penyakit pada suatu kaum, maka Allah melihat ahli masjid, lalu menjauhkan penyakit itu dari mereka.” Riwayat Ibnu Adi (juz 3, hlm 233); al-Dailami (al-Ghumari, al-Mudawi juz 1, hlm 292 [220]); Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (juz 1, hlm 159); dan al-Daraquthni dalam al-Afrad (Tafsir Ibn Katsir juz 2, hlm 341). Hadis ini adalah hadis dha’if. (lihat Nashiruddin al-Albani, Shahih wa Dha’if al-Jami’ al-Shaghir, juz IV, hlm. 380, hadis no. 1358).
Sahabat Anas bin Malik berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. telah bersabda: “Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku bermaksud menurunkan azab kepada penduduk bumi, maka apabila Aku melihat orang-orang yang meramaikan rumah-rumah-Ku, yang saling mencintai karena Aku, dan orang-orang yang memohon ampunan pada waktu sahur, maka Aku jauhkan azab itu dari mereka”. Riwayat al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman [2946]. Hadis ini dha’if Jiddan. (Lihat Nashiruddin al-Albani, Kitab Shahih wa Dha’if al-Jami’ al-Shaghir, juz 9, hal. 121, hadis no. 3674).
Sahabat Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah saw. Juga bersabda: “Apabila penyakit diturunkan dari langit, maka dijauhkan dari orang-orang yang meramaikan masjid.” Riwayat al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman [2947]; dan Ibnu Adi (juz 3 hlm 232). Al-Baihaqi berkata: “Beberapa jalur dari Anas bin Malik dalam arti yang sama, apabila digabung, maka memberikan kekuatan (untuk diamalkan)”. Hadis ini Dha’if. (Lihat Nashiruddin al-Albani, al-Silsilah al-Dha’ifah, juz IV, hal. 350, hadis no. 1851).
Adapun hadis-hadis shahih yang dapat dijadikan sebagai hujjah menghadapi wabah penyakit antara lain sebagai berikut:
Dalam hadis sahih dinyatakan bahwa “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu ma-suk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).
Dalam hadis sahih yang lain juga dinyatakan bahwa “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah sesuatu yang sakit itu dicampurbaurkan dengan sesuatu yang sehat.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Dalam hadis lain, dinyatakan bahwa “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Tidak boleh berbuat sesuatu yang membuat mudharat dan hal yang dapat menimbulkan suatu mudharat, dan yang membahayakan” (Hadis Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn ‹Abbas)
Demikian juga terdapat hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim tentang anjuran shalat di rumah ketika hujan pada siang hari Jum’at. “Dari Abdullah bin Abbas dia mengatakan kepada muadzinnya ketika turun hujan (pada siang hari Jum›at), jika engkau telah mengucapkan kalimat “Asyhadu an laa ilaaha illallaah, asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, “ maka janganlah kamu mengucapkan “Hayya alash shalaah, “ namun ucapkanlah “ shalluu fii buyuutikum “ (Shalatlah kalian di rumah kalian masing-masing ).” Abdullah bin Abbas berkata; “Ternyata orang-orang sepertinya tidak menyetujui hal ini, lalu ia berkata; “Apakah kalian merasa heran terhadap ini kesemua? Padahal yang demikian pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (maksudnya Rasulullah sallahu alaihi wasalam ). Shalat jum’at memang wajib, namun aku tidak suka jika harus membuat kalian keluar sehingga kalian berjalan di lumpur kawasan yang kotor.” ( Bukhari Muslim dari Abdullah ibn Abbas).
Demikian juga terdapat hadis riwayat Bukhari Muslim yang menyatakan bahwa . “Pada suatu ketika ‘Umar bin Khaththab pergi ke negeri Syam. Setelah sampai di suatu tempat bernama “Saragh” , pimpinan tentara dari Syam datang menyambutnya, antara lain terdapat Abu “Ubaidah bin Jarrah dan para sahabat yang lain. Mereka mengabarkan kepada Khalifah ‘Umar bahwa wabah penyakit sedang berjangkit di negeri Syam.
Khalifah Umar bin Khatab kemudian bermusyawarah dengan para tokoh Muhajirin, Anshar, dan pemimpin Quraish.
Lalu Khalifah Umar bin Khatab menyerukan kepada rombongannya; ‘Besok pagi-pagi aku akan kembali pulang ke Madinah. Oleh karena itu bersiap-siaplah kalian! Sahabat Nabi, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah bertanya; ‘Apakah kita hendak lari dari takdir Allah? ‘ Jawab Khalifah ‘Umar; ‘Mengapa kamu bertanya demikian, hai Abu ‘Ubaidah? Agaknya ‘Umar bin Khatab tidak mau berdebat dengannya. Dia menjawab; “ Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah yang lain. Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu engkau turun ke lembah yang mempunyai dua sisi. Lembah yang satu subur dan lembah yang lain tandus. Bukanlah jika engkau menggembalakannya di lembah yang subur, engkau menggembala dengan takdir Allah juga, dan jika engkau menggembala di lembah yang tandus berarti engkau menggembala dengan takdir Allah? ‘ Tiba-tiba datang ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang sejak tadi belum hadir karena suatu urusan. Lalu dia berkata; ‘Aku mengerti masalah ini karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri.’ Ibnu ‘Abbas berkata; ‘Umar bin Khaththab lalu mengucapkan puji syukur kepada Allah, setelah itu dia pergi.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Abu Ubaidah tetap memimpin negeri Syam yang sedang dilanda wabah pandemik, sehingga beliau meninggal dunia, dan kepemimpinan digantikan oleh Muadz, dan tak berselang lama Muadz juga meninggal dunia, karena terpapar wabah. Kemudian kepemimpinan diberikan kepada Amr bin Ash, dan di tengah kepemimpinannya Amr bin Ash berkata : “ Wahai sekalian manusia, sesungguhnya wabah itu bagaikan api yang menyala-nyala, dan badan-badan kalian itu yang menjadi kayu bakarnya, oleh karena itu berpencarlah kalian dan tinggallah kalian di gunung-gunung ( maksudnya menjauh dari keramaian ) sampai nantinya api ( wabah ) itu tidak akan menemukannbahan bakarnya lagi hingga ia akan padam sendiri”. Tatkala masyarakat Syam mendengar khutbah tersebut dan mereka berpencar ke gunung-gunung melaksanakan apa yang diperintahkan oleh pemimpin mereka, sehingga wabah itu berhenti dengan sendirinya. Semoga kita selalu berikhtiar untuk menghindar dari wabah pandemic ini dengan tetap menjaga diri, dengan membasuh tangan, menjaga jarak, dan lain sebagainya. Fa’tabiru Ya Ulil albab.
Buletin
Komentar