1464 Diantara Pengorbanan Umat Islam Untuk Persatuan Bangsa

today June 24, 2021 account_circle Arifin Ismail

 

 

“ Maka lapangkanlah, niscaya Allah member kelapangan kepada kamu “

( QS.Mujadalah :11)

Pada tanggal 22 Juni 1945, tujuh puluh enam tahun yang lalu adalah hari bersejarah, dimana pada pada waktu itu telah diumumkan sebuah deklarasi bangsa Piagam Jakarta.yang berisikan rumusan dari dasar Negara. Rumusan Piagam Jakarta ini kemudian mengalami perubahan susunan  dengan menghilangkan kata-kata “ dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya “ dalam sila ketuhanan dan susunan tersebut diganti dengan kata-kata “ Ketuhanan Yang Maha Esa “. Perubahan susunan kata-kata dalam sila pertama  tersebut akhirnya diputuskan oleh Badan Persiapan Kemerdekaan  Indonesia pada 18 Agustus 1945 sebagai rumusan dalam Pancasila sebagai dasar negara republik Indonesia.

Dalam buku “The Piagam Jakarta” yang ditulis oleh Endang Saifuddin Anshari yang merupakan thesis untuk meraih gelar master beliau  di Institute of Islamic Studies, McGill University di Kanada, disebutkan bahwa  pada tanggal 31 Mei 1945, terjadilah perdebatan tentang dasar negara diantara anggota Badan Usaha Penyelidikan Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI )  sebagaimana digambarkan oleh Supomo : " Sekelompok ulama mengajukan usul agar menjadikan agama Islam sebagai dasar Negara. Sedangkan kelompok yang lain yang diwakili oleh Mohammad Hatta berpendapat bahwa negara dipisahkan dari urusan agama ".  Sebagai negara yang baru merdeka, Komite BPUPKI telah diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk membicarakan dasar Negara dan bentuk Negara. Dari hasil voting dalam sidang tersebut terlihat bahwa keputusan  sistem Negara maka terdapat 55 anggota setuju dengan sistem republik sedangkan 7 anggota yang lain setuju dengan sistem kerajaan. Sedangkan keputusan tentang dasar Negara maka mayoritas anggota berpendapat bahwa dasar Negara adalah kebangsaan sedangkan 15 orang anggota lain setuju dengan dasar Islam.

Setelah keputusan sistem negara disepakati dengan sistem republik, bukan kerajaan, dan dasar negara adalah kebangsaan, baru komite membentuk panitia kecil yang bertugas untuk menyusun undang-undang Negara. Mereka yang ditunjuk menjadi anggota panitia kecil tersebut adalah : Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abisoesnoe Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, Abdul Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin.

Panitia kecil atau yang disebut dengan Panitia Sembilan ini membicarakan tentang draft undang-undang Negara, dan akhirnya mereka berhasil merumuskan undang-undang dasar, sebagaimana yang disebutkan oleh Soekarno : " Allah telah merahmati kita semua. Sebenarnya, pada awalnya disana ada perbedaan antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam dalam mencapai persetujuan tentang agama dan Negara. Alhamdulillah, dengan berkat rahmat  Alah mereka semuanya telah dapat mengambil kesepakatan, dimana Panitia kecil telah setuju dengan draft undang-undang dasar yang disusun oleh panitia Sembilan. Saya ( Soekarno ) akan membaca pembukaan undang-undang dasar tersebut adalah sebagai berikut :

" Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan  dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ".

Pembukaan Undang-undang ini telah disepakati oleh seluruh anggota komite persiapan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 31 juni 1945 dan dinamakan dengan “Piagam Jakarta”.

Kemudian dalam beberapa hari selanjutnya Laturhahary , seorang tokoh masyarakat dari penganut agama protestant berkata : " kalimat Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya " itu akan membawa persoalan yang besar khususnya bagi agama yang lain , dan juga akan menyusahkan hukum adat istiadat suatu daerah ". Tokoh bangsa, dan diplomat ulung, Agus Salim menjawab : " Perbedaan mengenai hukum agama dan hukum adat bukan hal yang baru, dan secara umum itu telah diselesaikan. Lebih dari itu, penganut agama yang lain tidak perlu khawatir dengan keamanan sebab itu akan berkaitan dengan kekuatan Negara bukan  dari jumlah dan bilangan ummat islam yang terdiri dari sembian piluh persen dari penduduk “.

Soekarno yang memimpin sidang juga mengingatkan para peserta sidang bahwa pembukaan undang-undang dasar tersebut adalah hasil kompromi dari kelompok islam dan nasionalis, dan jika kalimat tersebut tidak memenuhi maksud semuanya, tidak mungkin kelompok islam menerima dan setuju ".

Seorang anggota komite Wongsonegoro menyatakan : " kalimat tujuh tersebut akan membuat rasa fanatik karena itu kelihatannya memaksakan syariat islam bagi pemeluknya ". Abdul Wahid Hasyim menanggapi pernyataan tersebut berkata: " Sebagian orang menganggap bahwa kalimat tersebut terlalu tajam, tetapi bagi sebagian yang lain, kalimat itu belum cukup tajam ". Soekarno kembali menegaskan bahwa pembukaan tersebut sudah diterima dan merupakan hasil kompromi antara kelompok islam dengan kelompok nasionalis, oleh sebab itu dengan tidak ada persoalan bangsa yang lain dan telah diterimanya draft pembukaan undang-undang dasar tersebut maka sidang hari ini 11 juli kita akan tutup. Dengan demikian pembukaan undang-undang dasar dengan tujuh kalimat " kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya " telah disepakati dan disetujui oleh parlimen pada waktu itu.

Kemudian pada hari proklamasi kemerdekaan 17 agustus , seorang komandan angkatan laut Jepang ( Kaigun ) datang kepada Muhammat Hatta dan berkata bahwa sebagian masyarakat penganut agama Protestant dan Katholik tidak setuju dengan kalimat " dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya " sebagaimana yang tertulis di dalam piagam Jakarta. Sebab kalimat itu menunjukkan diskriminasi antara panganut agama yang lain. Hatta menjawab : " Maramis adalah anggota komite dari pihak kristian dan dia telah setuju dengan kalimat tersebut ". Komandan itu menjawab : “ Memang betul waktu itu Maramis tidak melihat perbedaan itu, tetapi sekarang keadaan berbeda, dan jika kalimat itu masih berada di dalam pembukaan tersebut, maka umat katholik dan protestant akan keluar dari Negara kesatuan Indonesia”. Hatta kemudian berjanji akan membicarakan hal ini dengan anggota komite sembilan. Pada pagi hari 18 agustus Hatta mengundang 4 anggota komite Sembilan  yaitu : Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Hasan untuk membicarakan persoalan diatas, akhirnya mereka sepakat untuk membuang tujuh kalimat " dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya " dari sila pertama dasar negara, dan menambahkan dengan kalimat " Ketuhanan Yang Maha Esa ". Menurut Hatta, kesepakatan itu terjadi pada 18 augustus antara jam 9.30  sampai 11.30 pagi. Setelah itu  Hatta mengumumkan tentang Undang-undang dasar 1945 dengan Pancasila sebagaimana rumusan yang ada sampai hari ini.  Berarti perubahan rumusan sila pertama dari konsep piagam Jakarta " Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluknya"  kepada kalimat " Ketuhanan Yang Maha Esa "  merupakan hasil toleransi yang sangat mahal diberikan oleh tokoh-tokoh Islam kepaada bangsa Indonesia, yang diputuskan dalam waktu hanya dua jam sebelum hal itu diumumkan. Padahal jika seandainya kelima anggota rapat darurat itu tetap bertahan dengan hasil keputusan sidang sebelumnya, maka situasi akan berbeda. Tetapi demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, maka umat Islam yang diwakili oleh tokoh umat yang duduk sebagai anggota panitua Sembilan telah rela mengorbankan tujuh kata yang sangat penting tersebut dari rumusan sila pertama.

 

Catatan diatas bukanlah untuk mengungkit kembali luka lama, tetapi untuk menyatakan bagaimana sebenarnya pengorbanan yang telah dilakukan oleh umat Islam  untuk persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara, yang tercatat sejak dari perjuangan kemerdekaan sampai kepada merubah rumusan sila pertama dasar negara yang terdapat dalam piagam Jakarta. Kita berharap agar semua pihak dapat menghargai perjuangan dan pengorbanan umat islam, sehingga umat Islam dapat menjalankan syariat dan ajaran agamanya dengan leluasa; jangan pula setelah sekian banyak pengorbanan dan toleransi yang  diberikan, umat islam masih juga tetap dicurigai dan dianak tirikan. Semoga ini membuat kita sadar bahwa umat islam adalah mayoriti bangsa Indonesia, dan telah memberikan andil dan pengorbanan yang begitu besar bagi keutuhan bangsa dan negara. Fa'tabiru ya Ulil Albaab.

 

Buletin

Share This