1463 REFORMASI MORAL
Sesungguhnya engkau ( Muhammad ) memiliki akhlak yang mulia ( QS. Al Qalam : 4 )
Film Kingdom of Heaven arahan Ridley Scott cukup berhasil menampilkan sosok pahlawan Islam Shalahuddin al-Ayyubi secara lebih obyektif. Wajar, jika film yang menampilkan sisi-sisi hitam sejarah Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat. Sebab, selama ini sosok Shalahuddin memang dipersepsikan sebagai “momok”, yang dibenci. Jenderal Geraud, saat berhasil menaklukkan Damaskus, pada abad ke-20, menginjakkan kakinya di makam Shalahuddin, sambil berteriak: “Saladin, wake up. We are back!” Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, menguraikan dampak Perang Salib dalam membentuk persepsi masyarakat Barat terhadap Muslim. Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras antara sikap pasukan Kristen dan pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Tahun 1099, saat menduduki Jerusalem, pasukan Salib membantai hampir semua kaum Muslim dan Yahudi. Sekitar 30 ribu orang dibantai di Jerusalem, sehingga di Masjid al- Aqsha terjadi genangan darah setinggi mata kaki. Tapi, saat Shalahuddin merebut kembali Jerusalem, ia membebaskan kaum Kristen untuk meninggalkan Jerusalem dengan aman.
Sosok Shalahuddin, telah berabad-abad melegenda dalam tradisi masyarakat Barat. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe” (Lihat, David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, 1999), memaparkan cerita-cerita menarik seputar legenda-legenda yang hidup di kalangan masyarakat Barat pada Zaman Pertengahan terhadap Islam. Misal, legenda tentang Eleanor of Aquitaine yang diisukan memiliki affair dengan Shalahuddin al-Ayyubi, saat ia menemani suaminya, Louis VII, dalam Perang Salib II. Ada pula legenda tentang Shalahuddin yang dikabarkan merupakan keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga, legenda bahwa Shalahuddin telah dibaptis pada akhir hayatnya.
Apa pun persepsi Barat tentang Shalahuddin, bagi kaum Muslim, Shalahuddin al- Ayyubi dipandang sebagai pahlawan. Hingga kini, banyak orang Muslim bangga memberi nama anaknya “Shalahuddin”. Kisah-kisah kepahlawanan Shalahuddin, Muhammad al-Fatih, dan penguasa-penguasa (umara) Muslim lainnya, telah memberikan inspirasi kepada banyak generasi Muslim, bahwa jalan kebangkitan umat Islam adalah dengan menunggu dan berusaha menghadirkan seorang pemimpin politik kenegaraan. Bahkan, terkadang, harapan itu begitu besar, saat Negara dan masyarakat dalam kondisi terpuruk, banyak yang berharap hadirnya pemimpin baru akan memberikan perubahan besar dalam kehidupan mereka. Harapan itu sering kali berakhir sia-sia. Pemimpin baru yang tampil tak mampu berbuat banyak, atau bahkan seringkali menunjukkan kualitas jauh lebih rendah dari pada citra yang dimunculkan saat kampanye pemilihan kepemimpinan negara.
Kisah kebangkitan umat Islam dalam Perang Salib – setelah terpuruk dan dibantai Pasukan Salib dari Eropa – bisa menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini. Kebangkitan umat Islam ketika itu terjadi bukan melalui hadirnya seorang pemimpin hebat seperti Shalahuddin al-Ayyubi, tetapi justru terjadi melalui kerja keras para ulama – melalui madrasah-madrasah – yang berhasil melahirkan satu generasi yang hebat, yaitu “Generasi Shalahuddin” (Jiilu Shalahuddin). Kisah kebangkitan itu dipotret dan dianalisis dengan baik oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds. Buku ini memaparkan peran ulama- ulama seperti Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan sebagainya, dalam mendidik dan melahirkan generasi Shalahuddin tersebut.
Peran Imam al-Ghazali dalam kebangkitan umat Islam saat itu juga digambarkan dalam Kitab al-Jihad yang ditulis ‘Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami bertemu dengan al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al- Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib.
Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan the greater jihad (al- jihad al-akbar). Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib (Franks). Peran al-Ghazali dalam membangun moral kaum Muslim disebutkan oleh Elisseef. Bahwa, kelemahan spiritual di kalangan Muslim pada awal Perang Salib ditekankan oleh al-Ghazali, yang ketika itu mengajar di Damascus. Al-Ghazali menekankan jihad melawan hawa nafsu, melawan kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Tujuannya adalah untuk membantu kaum Muslim mereformasi jiwa mereka.
Faktanya, sekitar 50 tahun kemudian, di masa Nur ad-Din Zengi, kaum Muslim mampu melaksanakan jihad efektif. Elisseef mencatat: “The person who would realize the ideal of the jihad which as-Sulami, Ghazali, and the ‘ulama of Damascus had advocated, was Nur ad-Din.” Titik balik Perang Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada 539/1144, di bawah komandan Imam al-Din Zengi, ayah Nur al-Din. Dua tahun sesudah itu, Zengi wafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk memimpin perjuangan melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenangan melawan pasukan Salib dan pada 549/1154 ia sukses menyatukan Syria di bawah kekuasaan Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius, pahlawan jihad, dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada 569/1174, Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan Nur al-Din, memegang kendali kepemimpinan Muslim dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam yang berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187.
Istilah jihad, secara yuridis Islam, kemudian berkembang menjadi makna khusus, dan telah dipahami oleh para sarjana Muslim dalam pengertian “perang” (qital). Dalam makna khusus dalam bidang fiqih inilah, istilah jihad memiliki makna syariat. Semisal, ada ketentuan-ketentuan hukum dimana orang yang matin dalam jihad – dengan makna qital – diperlakukan jezanahnya sebagai syahid. Namun, memang terdapat berbagai hadith Nabi saw yang menunjukkan berbagai jenis jihad dalam makna yang umum, seperti jihad dengan mengeluarkan kata-kata yang benar di depan penguasa yang zalim. Begitu juga dengan jihad melawan hawa nafsu, dengan lisan, dan harta. Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad al-nafs dan jihad melawan musuh dengan baik.
Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat, baik potensi jiwa, harta, dan juga keilmuan. Adalah menarik, bagaimana dalam situasi perang seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah umat secara komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-Ghazali juga menakankan pentingnya masalah ilmu. Ia membuka kitabnya itu dengan “Kitabul Ilmi”. Aktivitas al-Ghazali yang aktif dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al-Ghazali seperti berpesan kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa diselesaikan dari faktor-faktor permukaan saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi, masalah umat perlu diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar, yang dikatakan oleh Ali al-Sulami sebagai tahap “reformasi moral”. Tentu, tahap kebangkitan dan reformasi jiwa ini tidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan yang benar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah akan menuntun pada pehamaman yang salah. Jika pemahaman sudah salah, bagaimana mungkin amal akan benar? Fa’tabiru Ya Ulil albab. ( Kutipan dari tulisan “ Antara Shalahuddin Al Ayubi dan Imam Ghazali, oleh DR.Adian Husaini ).
Buletin
Komentar