1455 Semangat Kartini Untuk Memahami alQuran

 

 

“Allah Pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan  kepada cahaya” 

(QS. AlBaqarah: 257)

 

Banyak orang melihat bahwa perjuangan Kartini menuntut hak-hak wanita diartikan menuntut kebebasan wanita dari segala bentuk aturan hukum, sehingga menjadi masyarakat modern yang kadang kala terlepas dari nilai-nilai agama. Padahal jika kita teliti dari tulisan beliau terlihat bahwa perjuangan Kartini adalah perjuangan yang suci yaitu perjuangan budaya dengan mengangkat derajat wanita dari penghinaan yang disebabkan oleh sikap penjajah barat dan adat masyarakat, perjuangan akidah untuk mempertahankan diri wanita dengan akidah dan agama, dan perjuangan intelektual dengan mengajak kaum wanita untuk memahami  kitab suci al Quran.

Perjuangan kebebasan wanita dan bangsa yang diperjuangkan oleh Kartini sebenarnya bukanlah semangat kekebasan liberal yang diilhami oleh budaya dan pemikiran barat, tetapi semangat kebebasan yang dijiwai oleh semangat Islam.

Kartini sebenarnya melawan penindasan wanita yang dilakukan oleh adat masyarakat dan penghinaan martabat wanita yang dilakukan oleh masyarakat Barat. Dalam suratnya kepada Nyonya Van Kol pada 21 juli 1902 Kartini mengajak wanita bumiputera untuk kembali ke jalan Islam, dan juga menyatakan tekadnya untuk berjuang agar mendapatkan rahmat Allah sehingga dirinya mampu meyakinkan umat agama lain untuk memandang agama Islam merupakan agama yang patut dihormati.

Menurut Kartini, budaya wanita dipingit (tidak boleh keluar rumah) adalah akibat penjajahan Barat yang tidak menghormati wanita, sehingga orangtua lebih memilih untuk menyelamatkan anak perempuannya dari permainan kaum penjajah dengan melarang mereka keluar rumah. Tetapi sayangnya sebagian masyarakat menjadikan larangan tersebut berakibat negative, dimana menganggap wanita tidak boleh mengembangkan potensi dirinya.

Menurut buku “Menemukan Sejarah“ yang ditulis oleh Masyur Suyanegara menyatakan bahwa, “Perang melawan penjajah yang berkepanjangan melahirkan budaya pingitan yang membelenggu anak perempuan sejak remaja, sebab tidak ada orangtua yang merasa damai di masa perang dan berani melepaskan anaknya di luar pengawasannya. Penjajah bertingkah laku menganggap rendah bangsa Indonesia, termasuk wanita yang diperlakukan sebagai wanita yang kehilangan kemerdekaannya. Untuk menyelamatkannya, orangtua dalam masa penjajahan memilih jawabannya menyembunyikan putri-putrinya. Kartini juga terpingit, merupakan korban budaya zaman penjajah“.

Budaya pingitan yang diakibatkan oleh penjajahan inilah yang dilawan oleh Kartini, sebagaimana dinyatakan dalam suratnya pada 23 Agustus 1900 kepada Stella dinyatakan: “Aku hendak, aku mesti menuntut kebebasanku. Stella, aku hendak perdengarkan kepadamu. Manakah aku akan menang, bila tidak berjuang. Manakah aku akan mendapatkan, bila tiada mencari. Tiada perjuangan tiada kemenangan. Aku akan berjuang Stella, aku akan merebut kemerdekaanku. Aku tidak gentar terhadap segala keberatan dan kesukaran, perasaanku cukup luat untuk mengalahkan semuanya itu “.

Kartini tidak mau mengikuti kebanyakan perempuan terpelajar pada zaman penjajah yang terperangkan dalam budaya Eropa, dan juga tidak mau mengikuti budaya wanita pribumi yang terikat oleh budaya adat yang menghilangkan potensi diri. Maka dengan pernyataan tersebut Kartini sebenarnya melawan adat masyarakat yang meminggirkan peranan wanita dan juga melawan budaya barat yang merusak peranan wanita dengan kebebasan yang tidak bermoral.

Untuk itu Kartini tidak segan menegur budaya Barat yang tidak bermoral dengan tulisan surat kepada Zeehandelaar pada 23 Agustus 1900 dia menyatakan: “Kerap kali aku bertemu dengan orang kulit putih yang sekali-kali bukan bodoh, melainkan pikiran yang cerdas, tetapi congkaknya (sombong) bukan main, tiada tahan. Hal ini menyakitkan hatiku bukan main, dan terlalu banyak kali menyampaikan perasaannya kepada kami, bahwa kami orang jawa sebenarnya bukan manusia. Bagaimana mungkin orang Belanda akan kami sayangi, bila kami diperlakukan secara demikian. Cinta akan membangkitkan cinta, tetapi penghinaan selamanya tidak akan membangkitkan cinta”.

Sebagai bukti rusaknya moral bangsa Eropa dinyatakan Kartini lebh lanjut: “Orang Eropa yang sekecil-kecilnya berhak duduk di atas kursi, sedangkan pegawai pribumi di bawah bupati, tidak pandang umur, asal dan kecakapannya, diwajibkan duduk di lantai “.

Menurut Kartini, bangsa Eropah tidak layak melakukan penghinaan terhadap bumiputera, apalagi bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai agama dan keimanan. Hal ini dinyatakan Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon pada 30 September 1901: “Kami akan berjuang keras memajukan, membangkitkan bangsa kami dari kehinaan. Hidup kami penuh dengan jasa dan penuh dengan cita-cita “.

Kartini melakukan surat menyurat dengan kawan-kawanya wanita Belanda agar mereka dapat memahami keinginan dirinya dalam perjuangan melawan penindasan yang dilakukan oleh masyarakat dan bangsa penjajah terhadap wanita. Tetapi diantara wanita Belanda tersebut ada yang mencoba mempengaruhi Kartini agar melepaskan keyakinan agama Islam yang dipeluknya jika Kartini ingin mendapatkan kebebasan. Tetapi Kartini tidak terpengaruh dengan bujukan meninggalkan agama yang dipeluknya sebagaimana  jawabannya kepada nyonya Van Kol pada 21 Juli 1902: “Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, semoga kami mendapat rahmat dapat bekerja membuat umat lain memandang agama kami (Islam) patut disukai“.

Dari pernyataan tersebut, berarti Kartini tidak terpengaruh dengan ajakan untuk meninggalkan ajaran agama demi kebebasan yang dicarinya, sebagaimana dilakukan oleh wanita liberal masa kini, tetapi kebebasan yang diperjuangkannya adalah kebebasan dengan landasan keyakinan agama Islam, malahan Kartini berharap semoga masyarakat barat melihat bahwa kebebasan berlandaskan agama akan menjadikan masyarakat Eropa akan menyukai agama Islam. Oleh sebab itu Kartini memberikan nasehat kepada masyarakat Eropa agar tidak berusaha menukar agama yang telah dipeluk oleh masyarakat pribumi yaitu agama Islam dengan agama eropa sebagaimana dinyatakannya dalam suratnya pada 31 Januari 1903: “Usahakanlah  zending (lakukan usaha  untuk membantu masyarakat ) itu, tetapi tidak dengan menasranikan orang“.

Kartini lebih lanjut mencela dan menceritakan sikap sebagian orang muslim yang meninggalkan agamanya agar diangap modern dan bebas dengan mengikuti budaya serta agama orang Belanda dengan pernyataan: “Orang Islam umumnya rendah pandangannya kepada orang yang tadinya seagama dengan dia, lalu melepaskan kepercayaannya sendiri memeluk agama lain. Pada mata orang Islam yang menjadi Kristen itu sebaliknya memandang rendah pula kepadanya yang tadinya seagama dengan dia itu. Oleh karena yang dipeluknya ialah agama orang Belanda, sangkanya dia sama tinggi derajatnya dengan orang Belanda “.

Kartini juga merasakan ketenangan jiwa setelah dia membaca alQuran yang diterjemahkan dalam bahasa jawa, sehingga setiap ayat yang dibacanya dapat dipahaminya dengan baik. Kegembiraan Kartini dengan membaca al Quran dengan memahami maknanya dinyatakannya dalam suratnya pada 15 Agustus 1902 bahwa: “disinilah keimanan kepada Allah mulai  bersemi dalam dirinya yang bertahun-tahun lamanya didahagakan oleh jiwanya“.

Sebelum kitab suci al Quran diterjemahkan dalam bahasa jawa, Kartini merasa resah karena tidak dapat memahami dan mencintai al Quran sepenuhnya sebagaimana dinyatakannya: “karena al Quran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke bahasa manapun. Disini tiada seorangpun tahu bahasa Arab. Orang disini diajarkan membaca al Quran, tetapi yang dibacanya tiada yang ia mengerti“. Kartini menyayangkan keadaan itu sehingga katanya: “Aku merasa berdosa, dengan anggapan bahwa kitab suci yang mulia (alQuran) itu terlalu suci, sehingga tiada boleh diartikan kepada kami “. 

Disini terlihat Kartini sangat merindukan kehadiran tafsir alQuran. Sejarah mencatat bahwa Kartini mendengarkan penjelasan tafsir al Quran dalam bahasa jawa dari Kiyai Saleh Darat, seorang ulama di dekat tempat kediamannya. Dia merasa mendapatkan pencerahan dengan mendengar tafsir yang diajarkan dalam bahasa jawa tersebut, sehingga  dia meminta kepada Kiyai Saleh Darat untuk menterjemahkan al Quran dalam bahasa Jawa.

Sewaktu Kiyai Saleh Darat selesai menuliskan tafsir Al Quran bahasa Jawa tersebut,  dia sangat bergembira sebab keresahan hatinya yang selama ini terjadi telah terobati. Sejak itu dia selalu membaca alQuran dengan tafsir bahasa Jawa tersebut, dibaca dan dikajinya sebagaimana yang dikatakannya.  “Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh di tangan Nya. Maka hari-hari gelap gulitapun menjadi terang, dan angin ributpun menjadi sepoi-sepoi “.

Pernyataan Kartini bahwa “habis gelap terbitlah terang “ adalah merupakan terjemahan dari ayat al Quran “Nukhrijuhum Minaddzulumati ilannur “ (QS. AlBaqarah : 257).    Akhirnya kata-kata “habislah gelap terbitlah terang” tersebut dipilih oleh Armyn Pane untuk menjadi judul kumpulan surat-surat Kartini yang merupakan bukti perjuangannya.

Itulah semangat kartini, semangat membaca dan memahami wahyu Ilahi dan mengaplikasikannya dalam perjuangan untuk mengangkat derajat kaum wanita dan bangsa, serta mempertahankan akidah dan iman dari pengaruh agama dan budaya Barat.

Sudahkan kita mengikuti semangat Kartini tersebut sewaktu memperingati Hari Kartini, atau sebaliknya, dengan Hari Karini malah kita hilang semangat iman dan agama berganti dengan semangat emansipasi wanita dengan landasan budaya bebas dan liberal.

Fa'tabiru Ya ulil albab. 

 

Share This Post

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

More To Explore

Do You Want To Boost Your Business?

drop us a line and keep in touch

Discover more from ISTAID Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading