No. 1403 Kewajiban Menjaga Diri

 

“ Janganlah kamu mencampakkan diri kamu ke dalam kebinasaan “ ( QS. Al Baqarah : 195 )

Islam adalah agama diturunkan  untuk memelihara jiwa manusia,  memelihara akal, memelihara harta benda, memelihara keturunan , dan memelihara agama, Kelima tujuan pokok agama ini disebut “Daruriyatul Khams “. Pemeliharaan lima asas ini  merupakan dasar utama dalam menentukan hukum fikih. Sebagai contoh, menjaga kehidupan manusia adalah wajib, maka membunuh, melukai dan menganiaya orang lain  adalah haram. Menjaga akal adalah wajib, maka miras dan narkoba menjadi haram, sebab miras dan narkoba  merusak otak manusia. Menjaga harta kekayaan adalah wajib, maka mencuri dan merampok adalah haram. Menjaga keturunan adalah wajib, maka berzina menjadi haram. Menjaga agama adalah wajib, maka murtad,  adalah haram.  

Pada saat ini dunia sedang dilanda wabah virus covid 19, dan telah mengakibatkan kematian di seluruh dunia. Penyebaran virus ini sangat cepat,  virus tersebut keluar pada saat seseorang bersin, atau batuk, sehingga memerlukan masker untuk mencegah penyebaran lebih luas.  Virus yang beterbangan tersebut dapat berada pada benda plastik, kayu, besi, dan lain sebagainya, sehingga setiap orang harus selalu membasuh tangan dengan cairan sabun atau hand sanitizer. Penyebaran virus juga dapat terjadi melalui kontak badan antara penderita virus dengan orang lain, seperti  berjabat tangan dan lain sebagainya. Orang yang sudah terkena virus, jika memegang sesuatu benda, seperti pegangan pintu, maka virus akan melekat pada pegangan pintu itu dan jika  datang orang lain yang belum terkena virus memegang pegangan pintu yang telah dipegang oleh penderira virus, maka terjadilah penularan melalui pegangan pintu tersebut. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah kita tidak mengetahui apakah seseorang yang kita jumpai itu sudah menjadi penderita atau pembawa virus, sebab  orang tersebutbelum menunjukkan  gejala apapun seperti demam, batuk, dan lain sebagainya. Sebab gejala tersebut baru terlihat setelah   empat belas hari kemudian, sehingga kita tidak dapat mengetahui apakah seseorang itu telah membawa virus atau tidak membawa virus. Untuk itulah maka kita perlu menjaga jarak antar satu dengan yang lain, sehingga segala kegiatan yang melibatkan perkumpulan orang ramai, baik pengajian, perkawinan, pertemuan, dan lain sebagainya perlu dihindari, sehingga dengan demikian dapat mengurangi jumlah korban penderita.  

Dikarenakan  penyebaran virus yang begitu cepat, maka ulama di dunia, seperti Majelis Ulama Indonesia, Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia, Badan Ulama Saudi Arabia, Lajnah Fatwa Al Azhar Mesir, dan semua institusi Ulama di negara muslim mengeluarkan fatwa untuk tidak melakukan shalat jumat dan shalat berjamaan di masjid, sebab dikhawatirkan dengan shalat jumat dan shalat jamaah dapat terjadi kontak fisik, sedangkan kita tidak dapat mengetahui siapakah diantara jamaah yang telah membawa virus covid 19 walaupun orang tersebut tidak memiliki tanda-tanda, sebab tanda – tanda seperti batuk, dan lain sebagainya hanya terjadi setelah beberapa hari.

Majlis Ulama Indonesia dengan Fatwa  Nomor: 14 Tahun 2020 tentang penyelengaraan Ibadah dalam situasi terjadi wabah covid 19 menyatakan bahwa setelah merujuk kepada Al Quran dan hadis  diantaranya : “ janganlah kamu mencampakkan diri kamu ke dalam kebinasaan “ ( QS. Al Baqarah : 195 ), Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu (QS. al Taghabun: 16) “ Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (QS. al Baqarah: 185) dan hadis Rasulullah yang bersabda :

 “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (Riwayat Bukhari)  

“ Jangan campurkan unta yang sakit ke dalam unta yang sehat.” ( Muslim) “ Dan larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa ( riwayat Bukhari )

“ Barang siapa yang mendengar azan wajib baginya sholat berjamaah di masjid, kecuali ada uzur”. Para sahabat bertanya : “Apa maksud uzur ?”. Rasulullah menjawab : “Ketakutan atau sakit.” ( hadis riwayat  Abu Daud).

Bedasarkan ayat Al Quran dan hadis nabi, ditambah dengan beberapa kaedah hukum Fikih , dan pendapat ulama seperti Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’, juz 4 hal. 352 tentang gugurnya shalat jumat karena sakit dan uzur, maka Majelis Ulama Indonesia memutuskan :

1. Setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang dapat menyebabkan terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama ( Daruriyatul Khams ).

2. Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur, karena shalat jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.

 

3. Orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.

b. Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.

4. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.

5. Dalam kondisi penyebaran COVID-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19.

6. Pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam menetapkan kebijakan penanggulangan COVID-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib menaatinya.

7. Pengurusan jenazah (tajhiz al-janaiz) yang terpapar COVID-19, terutama dalam memandikan dan mengafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar COVID-19.

8. Tindakan yang menimbulkan kepanikan dan/atau menyebabkan kerugian publik, seperti memborong dan/atau menimbun bahan kebutuhan pokok serta masker dan menyebarkan informasi hoax terkait COVID-19 hukumnya haram.

9. Umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap shalat fardhu, memperbanyak shalawat, sedekah, serta senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan marabahaya ( daf’u al-bala’), khususnya dari wabah COVID-19.

Dalam Surat Keputusan Fatwa tersebut, Majelis Ulama juga memberikan beberapa rekomendasi yaitu (1) Pemerintah wajib melakukan pembatasan super ketat terhadap keluar-masuknya orang dan barang ke dan dari Indonesia kecuali petugas medis dan barang kebutuhan pokok serta keperluan emergency. (2) Umat Islam wajib mendukung dan menaati kebijakan pemerintah yang melakukan isolasi dan pengobatan terhadap orang yang terpapar COVID-19, agar penyebaran virus tersebut dapat dicegah. (3) Masyarakat hendaknya proporsional dalam menyikapi orang yang suspect atau terpapar COVID-19. Oleh karena itu masyarakat diharapkan bisa menerima kembali orang yang dinyatakan negatif dan/atau dinyatakan sudah sembuh ke tengah masyarakat serta tidak memperlakukannya secara buruk.

Demikianlah Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang dikeluarkan pada 16 Maret 2020 agar umat Islam dapat menjaga dirinya dari terkena vwabah virus yang sedang berjangkit. Walaupun demikian masih ada sebagian kelompok masyarakat yang tidak peduli dengan fatwa tersebut, malahan sebagian ulama secara individu tidak setuju dengan keputusan fatwa tersebut. Dalam Islam, perbedaan pendapat dalam hukum fikih adalah suatu yang dibolehkan selama perbedaan tersebut berdasarkan dalil-dalil keilmuan, tetapi siapapun ulama yang berbeda pendapat perlu menghargai pendapat dan fatwa yang dikeluarkan oleh jumhur atau institusi ulama, dan masyarakat awam lebih baik mengikuti pendapat jumhur ulama daripada pendapat satu atau dua orang individu ulama. Ulama Salaf, Ibnu Salah (w.643H) dalam kitab “ Adabul Mufti wal Mustafti”  halaman 171,  menyatakan bahwa “ Tidak layak bagi orang awam unttuk mempertanyakan “kenapa” dan “bagaimana “ secara terbuka, tetapi jika dia ingin lebih memahami fatwa dapat bertanya dalam suatu pertemuan penjelasan atas fatwa tersebut “. Fa’tabiru Ya ulil Albab.

Share This Post

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

More To Explore

Do You Want To Boost Your Business?

drop us a line and keep in touch

Discover more from ISTAID Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading