No. 1340 Pemikiran Liberal Dan RUU Kekerasan Seksual

PEMIKIRAN LIBERAL DAN  RUU KEKERASAN SEKSUAL

“ Dan janganlah kamu mendekatkan diri kepada perbuatan zina “ ( QS. Al Isra: 32)

Rancangan Undang Undang  Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PK-S) sedang dibahas oleh Komisi VIII bidang agama,sosial dan permberdayan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Diajukannya RUU PKS oleh komnas perempuan  didasari dengan tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Pada catatan tahunan 2017 Komnas Perempuan, tercatat 348.446 kasus kekerasan yang dilaporkan selama tahun 2017. Angka tersebut naik 74 persen dari tahun 2016 sebanyak 259.150 (www. komnasperempuan.go.id). Kekerasan seksual tak hanya marak di Indonesia, namun menjadi masalah dunia. Data dari PBB menyebutkan 35 persen perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan secara fisik dan seksual. 120 juta perempuan di dunia pernah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dan tindakan seksual lainnya. (Serambinews.com).

Dalam Rencana Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Sekrual ( RUU PK 0S ) tersebut ada beberapa pasal yang sangat mengkhawatirkan sebab dapat menimbulkan penafsiran mengarah kepada kebebasan seksual . Sebagai contoh dalam  Pasal 5 disebutkan bahwa : (1) Setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual dalam segala bentuknya. (2) Bentuk Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi; a. Pelecehan seksual, b. Kontrol seksual , c. Perkosaan, d. Eksploitasi seksual,  e. Penyiksaan seksual, dan f. Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh, seksualitas dan/atau organ reproduksi sebagai sasaran (3) Setiap tindakan persetujuan diam-diam atau pembiaran yang dilakukan oleh lembaga negara, korporasi, dan lembaga masyarakat, yang berakibat terjadinya kekerasan seksual sebagaimana dimaksud ayat (2) merupakan tindak pidana kelalaian. Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh dan seksualitas atau organ reproduksi sebagai sasaran, dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan.

Menanggapi Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual diatas, maka Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama sejumlah lembaga di ruang rapat Fraksi PKS menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus diwaspadai karena dinilai sarat dengan konsep Barat yang liberal (Hidayatullah.com, 31/5/2016 ) Sebagai contoh, dalam ayat  pasal  diatas disebutkan bahwa (2) Bentuk kekesaran seksual meliputi (b) Kontrol seksual.

Dalam ayat ini, dapat dipahami bahwa kontrol seksual merupakan tindak kekerasan seksual, berarti  jika ada agama yang melarang perlakuan seksual  yang  tidak sesuai dengan ajaran agama, maka mencegah perbuatan tersebut termasuk dalam kekerasan seksual. Sebagai contoh jika ajaran agama melarang seseorang itu berzina, maka agama telah melakukan kekerasan seksual, sebab setiap orang berhak untuk melakukan pilihan seksualnya berdasarkan hak-hak asasi manusia,  Demikian juga jika negara melarang perbuatan seksual yang dilakukan seseorang, maka negara telah melakukan kekerasan seksual, sebab negara tidak boleh masuk dalam ranah perbuatan pribadi seseorang dalam masalah seksual. Sebagai contoh, jika seseorang menjual dirinya ( prostitusi ) secara sukarela, maka negara tidak boleh menghukum perbuatan prostitusi tersebut.

Tanpa disadari, rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual ini dapat menjadi undang-undang kebebasan seksual secara tersirat, sebab landasan undang-undang ini berdasarkan pada pemikiran liberal yang berasaskan hak-hak asasi manusia, kebebasan manusia secara liberal yang  bertentangan hukum agama dan nila-nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

 Agama dalam konsep Islam berisi nilai, hukum dan pedoman hidup yang mengatur segala sistem hidup manusia, baik sistem ritual, sistem keluarga, sistem pernikahan, sistem budaya dan lain sebagainya, sedangkan agama dalam sistem sekular liberal adalah hubungan spiritual dan ritual seorang dengan Tuhannya yang terpisah dari sistem hidup yang lain.  

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontrol seksual  pada pasal 5 ayat (2) huruf b yang dikategorikan kekerasan seksual dapat mendorong setiap orang untuk bebas memilih aktivitas seksual tanpa ada kontrol dari pihak lain. Pihak yang melakukan kontrol seksual justru bisa dipidanakan. Orang tua tidak boleh melarang anaknya dalam melakukan hubungan seks bebas karena perbuatan orangtua itu dapat dikategorikan sebagai kontrol sosial. Aktivitas LGBT juga terlindungi dengan rencana undang-undang tersebut. Tanpa sadar, jika undang-undang penghapusan kekerasan seksual ini tidak dikritisi, maka undang-undang ini akan menghancurkan nila-nila dan hukum agama dalam masyarakat.

Dalam Pasal 7 Rencana Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual disebutkan  (1) Tindak pidana kontrol seksual sebagaimana pasal 5 ayat (2) huruf b adalah tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau tanpa kesepakatan dengan tujuan melakukan pembatasan, pengurangan, penghilangan dan atau pengambilalihan hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat. (2) Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu; b. Pemaksaan kehamilan; c. Pemaksaan aborsi; d. Pemaksaan sterilisasi; dan e. Pemaksaan perkawinan.

Pemikiran liberal dan kebebasan seksual ini sangat nampak pada pasal 7 ayat (1) yaitu adanya hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat. Artinya kebebasan seksual harus dilindungi termasuk ketika seseorang memilih untuk melakukan seks bebas, kumpul kebo, zina dan seks menyimpang homoseksual, lesbian, biseksual dan lain sebagainya. Lebih jauh lagi, pada pasal 7 ayat (2) juga dinyatakan bahwa Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu. Berdasarkan ayat ini,maka orang tua tidak boleh mendisiplinkan anaknya  untuk menutup aurat, karena perbuatan itu termasuk kontrol seksual dalam hal busana. Seorang laki-laki tidak harus berpakaian laki-laki, namun boleh berpakaian perempuan. Demikian juga sebaliknya perempuan boleh berpakaian laki-laki. Karena melarangnya termasuk perbuatan kontrol seksual.  Perempuan juga berhak berbaju seksi dan minim,  karena itu dianggap hak yang dilindungi oleh undang-undang.

Padahal dalam ajaran agama, menutup aurat itu adalah wajib ( QS. An Nuur : 30, 31 ) dan masyarakat boleh melakukan kontrol terhadap hukum tersebut sebagai pelaksanaan daripada amar makruf dan nahi munkar. Orangtua diharapkan dapat menjaga dan memelihara keluarganya daripada segala tindakan maksiat dan dosa ( QS. Tahrim : 6 ), sedangkan dalam rancangan undang-undang ini kontrol orang tua terhadap keluarganya, kontrol institusi agama terhadap umatnya, penyampaian ajaran agama oleh guru agama kepada masyarakat, dapat dikategorikan sebagi kontrol seksual. Secara tidak langsung rancangan undang-undang ini juga jelas bertentangan dengan undang-undang pornografi dan porno aksi, dan pertentangan ini akan mengacaukan kehidupan masyarakat.

Dalam Pasal 8 RUU PK-S ini juga disebutkan bahwa  (1) Tindak pidana perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c adalah tindakan seksual dengan menggunakan alat kelamin atau anggota tubuh lainnya atau benda ke arah dan/atau ke dalam organ tubuh yaitu pada vagina, anus, mulut, atau anggota tubuh lain, dilakukan dengan cara paksa, atau kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau tekanan psikis, atau bujuk rayu, atau tipu muslihat, atau terhadap seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. (2) Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan.

Kalau kita perhatikan Pasal 8 ayat (2) menyebutkan bahwa Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan.Sesuai pasal ini, seorang istri bisa sesuka hatinya memilih untuk melayani suami atau tidak. Jika suami memaksa untuk berhubungan, maka terkategori pemerkosaan. Dalam rancangan ini, terlihat jelas, bahwa perkosaan itu adalah melakukan tindakan kekerasan seksual bukan saja kepada orang lain di luar nikah, juga kepada istri yang berada dalam ikatan pernikahan yang sah. Kita dapat melihat bahwa rancangan undang-undang ini hanya melihat perkawinan itu hanya kontrak sosial semata-mata, sebagaimana yang dipahami oleh pemikiran sekular liberal. Padahal dalam ajaran agama, perkawinan itu merupakan ibadah, dan ketaatan istri kepada suami itu merupakan ibadah, demikian juga hubungan seksual seorang suami dengan istri juga merupakan ibadah.

Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher Parasong, mengungkapkan, pihaknya masih mendalami usulan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diajukan oleh Komnas Perempuan tersebut. Hanya saja, ia mempertanyakan definisi dari tindakan kekerasan itu sendiri, dan apakah nantinya UU tersebut mampu menjangkau kepada kehidupan keluarga yang sangat pribadi. “Ini perlu pendalaman, jangan sampai UU ini kehilangan ruh dalam pembahasannya kemudian,” ujarnya kepada hidayatullah.om usai Rapat Dengar Pendapat  RUU PKS di Ruang Rapat Komisi VIII, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu. Tanggal 31/01/2018 yang lalu.

Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual memang perlu untuk mengurangi kekerasan seksual di masyarakat, tetapi beberapa ayat dan fasalnya perlu direvisi dan ditinjau kembali sebab di dalamnya masih terdapat beberapa pasal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan ketuhanan. Semoga kita dapat meihat dengan jeli, sehingga jangan sampai niat awal ingin menghilangkan kekerasan seksual tetapi alhi-alih menjadi kebebasan seksual, Naudzubillahi min dzalik..Fa’tabiru Ya Ulil albab.

 

Share This Post

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

More To Explore

Do You Want To Boost Your Business?

drop us a line and keep in touch

Discover more from ISTAID Center

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading